Pertanian Sehat Indonesia

Berita

Berita

Brebes Bangkit Kembali

Brebes bagian selatan yang dikelilingi bukit nampak asri. Sawah yang terpetak-petak dan berundak menjadi pemandangan yang banyak ditemukan dalam topografi perbukitan. Padi merupakan komoditas andalan petani Brebes yang ditanam sebagai stok pangan maupun tabungan pendapatan yang diusahakan oleh mereka. Kondisi topografi yang dimiliki Brebes selatan ini menguntungkan dalam pencegahan migrasi hama pengganggu dari wilayah lain. Pertanian Sehat Indonesia kembali mengakses kluster Wanoja dengan program Lumbung Desa. Beberapa tahun lalu sudah pernah ada Program Pemberdayaan Pertanian Sehat (P3S) yang diinisiasi oleh Lembaga Pertanian Sehat Dompet Dhuafa.  Potensi kekayaan alam dan sumber daya manusia di lokasi ini cukup mendukung dalam pelaksanaan aktivitas pertanian. Kelompok yang ada di wilayah Wanoja masih cukup solid dan eksis dalam aktivitasnya. Program Lumbung Desa ini lebih menekankan pada peningkatan ekonomi yang akan didukung oleh kondisi sosial dan ekologinya. Peningkatan pendapatan mitra tani menjadi prioritas dalam pengelolaan aset yang berada di wilayah Wanoja. Perkembangan usaha yang dilakukan oleh kelompok tani atau koperasi kelompok tani dengan mengelola komoditas unggulan diharapkan akan meningkatkan pendapatan mitra tani secara khusus dan masyarakat pada umumnya. Sekali lagi bahwa keberhasilan dalam program yang dilaksanakan oleh PSI perlu dukungan dari berbagai pihak. Mudah-mudahan efek program ini bisa dirasakan kebaikannya oleh masyarakat secara luas. Mitra tani Brebes sudah siap melaksanakan, PSI siap dengan dukungannya. Petani Indonesia Hebat. [jo]

Berita

Kembali ke Jagung Hemat dan Murah

MEDIA INDONESIA – Tiap karung berisi sekitar 30 kg jagung. Ia menyisihkan satu karung untuk keperluan membuat nasi jagung sebagai cadangan pangan empat anggota keluarganya selama satu bulan. PIPIT, 40, sibuk mengupas jagung-jagung hasil panen di depan halaman rumahnya di Dusun Petiran, Desa Pager Gunung, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Senin (2/3) siang. Beberapa karung berisi jagung teronggok di sudut halaman rumah. Jagung yang sudah dikupas dipisahkan dalam wadah sebuah karung bersih, sedangkan kulit jagung dan rambut jagung diletakkan terpisah di karung lainnya. Ia dibantu mertuanya, Sukarto, 77, mengupas seluruh jagung yang baru saja dipetik di lereng Gunung Sumbing. Suaminya, Medi, 42, bertugas mengangkut jagung dari kebun ke rumahnya.Menurut rencana, jagung sebanyak 2 kuintal dari hasil panennya itu akan diolah menjadi nasi jagung. “Kami sekeluarga mulai makan nasi jagung sejak harga beras mahal. Ini makanan alternatif pengganti beras sekaligus untuk menghemat beras,“ ungkapnya. Di dusunnya harga beras kualitas medium sudah mencapai Rp11 ribu per kg.Pipit biasanya membeli satu karung dengan berat 25 kg, yang hanya cukup dipakai selama dua minggu. “Kalau harga beras Rp8.000 per kg atau di bawah itu, pasti saya dan keluarga akan membeli beras. Namun, sekarang harga beras Rp11 ribu per kilogram. Jadi untuk kebutuhan makanan pokok enam anggota keluarga di rumah, kami memakan nasi jagung,“ imbuhnya. Pipit terakhir kalinya membeli beras tiga minggu lalu. Stok beras di rumahnya masih cukup. Namun, ia menyiasati agar beras tidak cepat habis, untuk kebutuhan pangan diselingi dengan jagung. Sukarto menimpali, jika memakan nasi jagung, keluarganya tidak perlu mengeluarkan uang. Jagung tersebut diambil dari kebunnya seluas 0,5 hektare. “Jadi ada hikmahnya juga saat harga beras tinggi, kami bisa menghemat beras dan uang karena memilih makan nasi jagung,“ terang Sukarto. Kepala Dusun Petiran, Dahwam, 47, menyebutkan di dusunnya terdapat 135 kepala keluarga. Hampir seluruh warganya mengonsumsi nasi jagung sebagai makanan alternatif. Dahwam mengaku telah memanen empat karung jagung dari sepetak lahannya. Tiap karung berisi sekitar 30 kilogram jagung. Ia menyisihkan satu karung untuk keperluan membuat nasi jagung sebagai cadang an pangan empat anggota keluarganya selama satu bulan, sedangkan tiga karung jagung lainnya ia jual ke pasar dengan harga Rp3.000 per kg. “Kami merasakan dampak tingginya harga beras. Memang dahulu kami kerap mengonsumsi jagung, tapi seiring berjalannya waktu, kami mengonsumsi beras.Sekarang kembali jagung lagi. Soalnya perbandingan harga beras dan jagung empat banding satu,“ kata Dahwam. Dusun yang dipimpinnya itu juga mendapatkan bantuan beras untuk warga miskin yang dijual seharga Rp1.600 per kg. Setiap kepala keluarga memperoleh 3 kg raskin dengan harga Rp6.500. Sisa pembelian raskin dimasukkan ke kas dusun. Pemkab Temanggung telah menyalurkan raskin periode Januari pada 18 Februari lalu dan akan berakhir pada hari ini. (Tosiani/N-4)

Berita

Petani tidak Menikmati Naiknya Harga Beras

MEDIA INDONESIA – HERI SUSETYO Petani memilih menyimpan gabah karena harga jualnya sangat rendah, tidak sepadan dengan tingginya harga beras. NAIKNYA harga be ras ternyata tidak dinikmati para petani di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.Pasalnya, petani menganggap harga gabah kering masih rendah, tidak sebanding dengan biaya pupuk dan pengolahan sawah. Kenaikan harga beras ratarata Rp1.000 per kg, tapi tidak membawa berkah bagi petani, sebab harga gabah kering hanya Rp5.500 per kg, tidak sebanding dengan harga beras yang kini kisarannya di pasar mencapai Rp10 ribu per kg.Bahkan harga gabah basah saat ini lebih rendah, hanya Rp4.500 per kg. “Saat ini kami memilih menyimpan gabah karena harganya masih rendah. Kami menunggu harga gabah lebih tinggi,“ kata Abdul Manaf, petani di Desa Simo Kesambi, Kecamatan Porong, Sidoarjo, kemarin. Dia bersama rekan-rekannya berharap pemerintah turun tangan ikut menstabilkan harga gabah kering dan basah, termasuk harga beras di pasaran. Mahalnya harga beras menggerakkan pemerintah daerah untuk langsung mengecek distribusi. Seperti dilakukan Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah, FX Hadi Rudyatmo yang telah memerintahkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) setempat untuk mengecek distribusi dan ketersediaan beras di pasar. “Saya sudah memerintahkan disperindag untuk melakukan sidak ke pasar dan agen beras hari ini. Dengan begitu, akan ketahuan apa yang menjadi penyebabnya,“ kata Rudy. Ia tidak segan mengambil tindakan apabila ditemukan agen atau pedagang beras yag sengaja menimbun. Begitu juga dengan pihak-pihak yang sengaja menghambat proses distribusi ke pedagang. Rudy tidak yakin naiknya harga beras disebabkan petani gagal panen. Ia menduga penyebabnya ialah tidak lancarnya proses distribusi. Sidak ke sejumlah distribu tor beras juga dilakukan Disperindag Provinsi Bangka Belitung. Kepala Disperindag Provinsi Bangka Belitung Yuliswan mengatakan sidak tersebut untuk mengetahui harga beras di tingkat pengecer dan distributor. Berdasarkan hasil sidak, lanjut Yuliswan, harga beras di tingkat distributor Rp10.700 per kg. Sementara itu, Akim dari PT Bangka Alam, distributor beras terbesar di Pangkal Pinang, menegaskan setiap hari beras yang datang langsung dilepas ke pengecer, tidak ada yang ditimbun.Stok menipis Sementara itu, di Bali, kenaikan harga beras rata-rata Rp1.000 hingga Rp3.000 per kg.Seperti di Pasar Amlapura Timur, Kabupaten Karangasem, harga beras premium jenis C4 lokal super naik dari Rp9.000 per kg menjadi Rp12 ribu per kg dalam tiga hari terakhir. Dari pengakuan para pedagang, kenaikan harga beras disebabkan stok di sejumlah gudang agen mulai menipis bahkan kosong. “Sejak dua hari susah mendapatkan beras karena stok di gudang agen kosong,“ ujar Nyoman Rauh, pedagang sembako di Pasar Amlapura, kemarin. Melambungnya harga beras memicu Bulog Lembata, Nusa Tenggara Timur, mempercepat pendistribusian beras untuk warga miskin. Hingga saat ini, Bulog Lembata telah menyalurkan raskin kepada warga di 6 kecamatan dari 9 kecamatan di Lembata.Adapun jumlah rumah tangga sasaran yang menerima raskin sebanyak 11.831. Untuk mengantisipasi menurunnya daya beli masyarakat, Bulog Subdivre Lembata menyalurkan raskin untuk tiga bulan sekaligus. Kepala Bulog Subdivre Lembata Yogi menjelaskan saat ini harga beras mencapai Rp13 ribu per kg. “Distribusi raskin ini akan membantu masyarakat kurang mampu,“ ujarnya.(FR/RS/RF/PT/N-4)

Berita

Singkong Potensial di Lahan Marginal

MEDIA INDONESIA – PUPUT MUTIARA Pemanfaatan lahan marginal untuk tanaman singkong juga berdampak positif pada perbaikan lingkungan pada lahan tersebut. PEMANFAATAN lahan-lahan marginal agar lahan itu tak mengalami kerusakan lebih parah masih minim. Padahal, hampir 60% atau sekitar 60 juta hektare lahan dari total 100 juta hektare ialah lahan marginal. “Karena itulah, pemanfaatan lahan-lahan marginal harus dilakukan pemerintah kita,” kata Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember Subagio kepada Media Indonesia di Jakarta, pekan lalu. Lahan marginal ialah lahan yang telah kehilangan kemampuan mendukung kegiatan siologis tumbuhan akibat proses kerusakan alam atau akibat aktivitas manusia sehingga butuh perlakuan lebih untuk kegiatan ekonomi. Menurut dia, singkong dapat menjadi solusi dalam peman faatan lahan marginal. Singkong bisa tumbuh baik bukan hanya di lahan-lahan subur melainkan juga di lahan marginal atau lahan kritis. Pada lahan gambut di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, misalnya, sudah ada 200 hektare perkebunan singkong yang kini mampu menghasilkan 80-90 ton singkong per hektare. “Rencananya mau dikembangkan lagi menjadi 1.200 hektare, termasuk daerahdaerah terpencil lainnya seperti Wonogiri, Jawa Tengah, dan Jawa bagian selatan.“ Ia menjelaskan lahan marginal atau lahan kritis umumnya banyak ditemui di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Pulau Jawa bagian selatan. Di wilayah itu, masyarakat miskin banyak menggantungkan hidup pada lahan tersebut. Menurut Subagio, mestinya pemerintah bisa mengembangkan lahan marginal secara maksimal. Salah satunya melalui memberi pembekalan kepada petani singkong, dengan memperkenalkan teknologi dan beragam pembinaan. “Dengan begitu, melalui tanaman singkong, lahan marginal bisa dikembangkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat,“ ungkap dia. Saat ini saja, produksi singkong di Tanah Air mencapai 24 juta ton per tahun dengan harga jual Rp1.200 per kilogram. Kalau dihitung, potensi pendapatan bahan baku singkong rata-rata mencapai Rp25 triliun per tahun. Bahan baku singkong bisa diolah menjadi berbagai produk seperti tapioka dan gaplek. Belum lagi turunannya, singkong juga bisa dijadikan bahan garmen dan MSG (penyedap). “Artinya, singkong sangat potensial untuk dikembang kan termasuk jadi komoditas untuk swasembada pangan.Tinggal upaya pemerintah agar serius menangani ini sehingga lahan marginal yang ada tidak semakin rusak,“ tukas Subagio. Kembali subur Pada kesempatan yang sama, Dewan Pengurus Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) Endang Sukara menambahkan, singkong sebenarnya salah satu keanekaragaman hayati khas Indonesia yang dapat dijadikan sebagai modal untuk merajai pasar internasional. “Makanan dari Indonesia ini sebetulnya berpotensi berkembang. Paling tidak, pemerintah bisa mengembangkan agar setiap lima tahunnya ada makanan yang masuk ke pasar internasional,“ tandasnya. Di sisi lain, mengembangkan singkong di lahan marginal memberi dampak positif untuk perbaikan lingkungan di lahan-lahan margi nal agar bisa kembali subur. Kuncinya, jelas Endang, ada pada pembangunan yang inklusif. Pemerintah harus melihat pembangunan tak sekadar daerah-daerah yang subur, tetapi juga daerah marginal yang selama ini tak tergarap pun harus dikerjakan. “Dengan memberdayakan potensi yang ada pada lahanlahan marginal, pembangunan kesejahteraan manusia pun tidak terabaikan,“ tukas Endang. (H-2) [email protected]

Berita

Pelopori Implementasi Biotek

MEDIA INDONESIA – IQBAL MUSYAFFA Teknologi rekayasa genetika berhasil mengurangi penggunaan pestisida sebesar 37% dan hasil tanaman meningkat 22%. KEBUTUHAN pangan dalam negeri yang terus meningkat memicu peningkatan impor pangan. Di sisi lain, pemerintah memasang target ambisius swadaya pangan dalam jangka waktu dua tahun ke depan. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan terobosan teknologi untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri dan menekan ketergantungan impor. Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winano Tohir berharap pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla segera memelopori implementasi bioteknologi atau biotek.Dengan implementasi biotek, menurutnya, tidak hanya dapat mencukupi kebutuhan sendiri, tapi juga dapat mengekspor produk pangan ke negara lain. “Oleh karena itu, petani berharap pemerintahan JokowiJK mengawali penggunaan teknologi biotek dalam waktu yang tidak terlalu lama,“ ujar Winarno di Jakarta, kemarin. Senada, Direktur Indonesian Biotechnology Information Centre (IndoBIC) Bambang Purwantara memandang adopsi teknologi dalam produksi pangan akan meringankan upaya pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan. “Bagi Indonesia, adopsi tanaman biotek, utamanya tebu dan jagung, ting gal menunggu persetujuan pakan. Kita pun berharap petani Indonesia akan melakukan hal yang sama,“ cetusnya. Meski bukan satu-satunya teknologi mujarab, Bambang mengungkapkan banyak negara menyadari bioteknologi salah satu solusi bagi upaya peningkatan produksi pangan sedunia. Pendiri International Service for the Acqusition of Agri Biotech Applications (ISAAA) Clive James mengamini hal tersebut.Bangladesh, salah satu negara terkecil dan sangat miskin di dunia, bahkan telah memproduksi terung biotek. “Komersialisasi dimulai pada Januari 2014, setidaknya 120 petani menanam 12 hektare tanaman terung biotek sepanjang tahun,“ ujarnya. Komersialisasi buah biotek bernama Bt Brinjal itu berhasil menekan penggunaan persitisida bagi tanaman pangan hingga 90%. Temuan itu konsiten dengan meta-analisis Klumper dan Qain pada 2014 yang menyimpulkan teknologi rekayasa genetika berhasil mengurangi penggunaan pestisida sebesar 37%, hasil tanaman meningkat 22%, dan keuntungan petani meningkat 68% selama 20 tahun terakhir.Tahun depan Pada kesempatan yang sama, Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian menyatakan selama ini pemerintah terus mendorong penerapan bioteknologi dalam sektor pertanian, salah satunya melalui Peraturan Menteri Pertanian No 61 Tahun 2011 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan, dan Penarikan Varietas. “Diharapkan awal tahun depan bisa terealisasi (penggunaan teknologi biotek) di Indonesia,“ kata dia. Selain melalui regulasi, lan jutnya, pihaknya menjalin kerja sama kelembagaan dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan perguruan tinggi, bahkan perusahaan swasta. Meski demikian, dia mengakui pengembangan bioteknologi di sektor pangan antarkelembagaan tersebut kurang bersinergi satu dengan lainnya dan belum fokus pada teknologi genetically modified organism. (E-6) [email protected]

Berita

Saatnya Melirik Sayuran dan Buah Organik

MEDIA INDONESIA – MASYARAKAT tengah digemparkan kabar beredarnya apel jenis granny smith dan gala impor asal Amerika Serikat (AS) yang diduga terkontaminasi oleh bakteri Listeria moncytogenes. Ahli mikrobiologi menyebut infeksi bakteri itu bisa menimbulkan sakit perncernaan, bahkan kematian. Memang, menjadi rahasia umum buah impor jauh lebih murah ketimbang buah lokal. Namun, jika melihat konsekuensi menakutkan dari mengonsumsi produk pangan murah tapi membahayakan kesehatan, sudah saatnya konsumen melirik produk sayur-sayuran dan buah organik. Makanan organik selalu dikatakan sebagai makanan mahal. Hal itu diakui peneliti gizi senior pada Food and Agriculture Organization (FAO) Perserikatan BangsaBangsa Brian Thomson. Menurutnya, kualitas hasil panen yang tidak selalu bagus dan uji lab untuk membuktikan makanan tersebut bukan produk transgenik atau genetically modified organism (GMO) akan menambah biaya dan pada akhirnya akan menaikkan harga jual. Namun, akan lain hasilnya jika produksi pangan organik yang saat ini kurang dari 10% beredar di pasaran diperbanyak. Seiring dengan makin banyak orang membeli produk itu, harganya otomatis turun. “Semakin banyak yang bertumbuh, makin memperkecil harga satuannya dan dengan ini konsumen bisa berhemat,” papar Thomson. Seorang koki bernama Karpathios menyarankan untuk menanam sayuran organik sendiri di taman, balkon, atau dalam jendela rumah. Selada, wortel, dan kacang-kacangan bisa dijadikan pilihan. “Satu meter persegi tanah dapat ditumbuhi dua jenis sayuran berbeda. Itu cukup untuk memberi makan empat anggota keluarga dalam satu tahun,” katanya. Di AS dan beberapa negara lainnya, produk organik juga semakin berkembang pesat di pasaran. Biaya pengiriman untuk produk segar, seperti buah-buahan dan daging segar biasanya berada pada kisaran US$18 US$25 (sekitar Rp227.000Rp315.000) per minggu. Jika makanan organik tersebut tidak habis laku di pasaran, akan dijual kepada masyarakat kecil dengan harga US$6 (Rp75.700) per kantong makanan untuk kebutuhan satu minggu. AS dan Belanda juga punya cara unik lainnya untuk menanamkan keinginan produksi makanan organik sendiri kepada masyarakat. Pemerintah menyebarkan resep makanan dari bahanbahan organik di depan rumah penduduk. Di samping itu, pemerintah Belanda tengah gencar mempromosikan hidup sehat dan murah dengan membuka layanan panduan cara mengurangi biaya konsumsi sehari-hari. Pendiri supermarket khusus produk organik di Belanda, Marqt, Quirijn Bolle mengatakan masyarakat di negaranegara Mediterania menghabiskan 25% penghasilan mereka untuk biaya makanan. Sementara itu, penduduk Belanda hanya menghabiskan 13% dari penghasilan mereka. (BBC/ Jessica Sihite/E-6)

Berita

Jagung dan Kedelai Lebih Sulit

MEDIA INDONESIA – Kedaulatan pangan jangan sebatas pada keberhasilan swasembada, tapi juga peningkatan kesejahteraan para petani di dalam negeri. BADAN Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan bahwa swasembada beras lebih optimistis untuk diwujudkan daripada kedelai atau bahan pokok lainnya. “Ini dilihat dari data impor beras, ternyata rata-rata kurang dari 5% dari ketersediaan beras, sedangkan kedelai sekitar 60%-70%,” kata Koordinator Perencana Utama Bappenas Bidang Ketahanan Pangan Bu di Santosa di Jakarta, kemarin. Dari hasil penelitian yang dilakukan timnya, lanjut Budi, swasembada beras bisa diwujudkan berkat pertumbuhan jumlah produksi beras yang mencapai 2% setiap tahunnya. Pada 2014, Indonesia memproduksi beras sebesar 43,3 juta ton, sedangkan yang diimpor hanya 152 ribu ton atau sekitar 0,35% dari stok beras nasional. Dalam kurun waktu 10 tahun sebelumnya, impor beras terbesar hanya terjadi pada 2011 dengan jumlah 2,75 juta ton atau sekitar 6,32%. Sementara itu, jumlah impor kedelai pada 2014 mencapai 1.300 ton atau 59,29%, dengan produksi dalam negeri sebesar 892.600 ton. Impor kedelai terbesar juga terjadi pada 2011, yang mencapai 2,1 juta ton atau sekitar 71,04% dari total produksi dalam negeri. Dalam seminar pemaparan ketahanan pangan Bappenas tersebut, Budi menambahkan, komoditas pangan lain yang juga memiliki beban impor terbesar selain kedelai ialah jagung. “Dengan besarnya jumlah yang diimpor pemerintah, amat mungkin jagung atau kedelai yang kita konsumsi sehari-hari bukan produksi dalam negeri,” kata dia. Impor jagung pada 2014 mencapai 1,5 juta ton atau sekitar 7,27% dari total stok, sedangkan produksi nasional mencapai 18,5 juta ton. Swasembada untuk tiga komoditas, yaitu beras, jagung, dan kedelai, merupakan salah satu target pemerintahan Presiden Joko Widodo. Presiden telah meminta Kementerian Pertanian (Kementan) untuk mengejawantahkan target tersebut dalam tiga tahun. Dalam kesempatan terpisah, Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia wilayah Jawa Barat Entang Suriaatmadja mengamini target swasembada kedelai relatif berat dicapai ketimbang beras atau jagung. Selisih potensi “Kedelai yang menjadi masalah, untuk swasembada cukup berat. Kedelai merupakan tanaman subtropis sehingga kurang bagus dikembangkan di iklim tropis. Tapi, semangat peningkatan produksi perlu terus dipupuk,” katanya. Sebelumnya, Kementan telah menandatangani nota kesepahaman dengan sejumlah perguruan tinggi untuk bekerja sama memenuhi target swasembada pangan. Dengan Universitas Gadjah Mada, misalnya, Kementan berkolaborasi untuk mengembangkan bibit kedelai unggul yang bisa berproduksi hingga 3,5 ton per hektare. Dekan Fakultas Pertanian UGM Jamhari mengatakan selama ini masih ada selisih besar antara po tensi pertanian dan capaian produksi. Di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta umpama, potensi padi mencapai 12,5 ton per ha, tapi capaian produksinya saat ini hanya 6 ton per ha. Hal serupa terjadi pada jagung yang potensinya 13,8 ton per ha, tapi realisasi produksinya hanya 8 ton per ha. Sementara itu, kedelai potensinya 4 ton per ha, dan capaiannya hanya 1,4 ton per ha. “Produksi kedelai inilah yang terutama akan kita dorong dengan benih unggul kami yang diharapkan akan mendongkrak produksi hingga 3,5 ton per ha,” harap Jamhari. (Ant/E-2) EMAIL: [email protected] 

Berita

Lima juta petani tinggalkan lahan pertanian

Jakarta (ANTARA News) – Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko menyebutkan selama kurun waktu 10 tahun sebanyak lima juta lebih petani Indonesia dipaksa meninggalkan lahan pertanian karena minimnya perhatian dari pemerintah. Tejo menjelaskan sebanyak 5,07 juta petani meninggalkan lahan pertanian selama tahun 2003 hingga 2013 dari jumlah total 31 juta petani menjadi 26 juta petani yang sekarang,” katanya di Jakarta, Jumat. Berdasarkan data Badan Pangan Dunia menyebutkan keluarga petani merupakan penghasil pangan dunia, dari 570 juta hektar lahan pertanian, 500 juta dimiliki oleh keluarga petani seluruh dunia dan mereka menghasilkan lebih dari 57 persen produksi pangan di dunia. Ia mengatakan keluarga produsen skala kecil memiliki peran yang signifikan dalam mengentaskan kemiskinan dan kelaparan dan juga tulang punggung kedaulatan pangan serta pengelolaan alam secar berkelanjutan. “Kedaulatan pangan basisnya penghasil pangan skala kecil petani dan nelayan dan ini sejalan dengan Badan Pangan Dunia yang menyatakan bahwa Indonesia harus memperhatikan khusus petani keluarga atau kecil karena mereka menyumbangkan lebih dari 50 persen pangan dunia,” katanya. Ia mengatakan pangan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh karenanya pemerintah harus mengedepankan kesejahteraan keluarga produsen pangan skala kecil sehingga cita-cita kedaulatan pangan tercapai. “Negara harus menghormati keinginan atau pilihan petani, melindungi petani dan juga harus memenuhi apa yang menjadi kebutuhan petani dan ini sangat penting,” katanya. Selain itu ia berharap pemerintah Jokowi-JK dapat mengubah pola pemberian subsidi petani berupa pupuk dan bibit langsung kepada petani atau penghasil pangan. “Selama ini subsidi diberikan ke industri baru kemudian di jual ke petani dengan harga murah, sedangkan bicara mengenai kedaulatan pangan seharusnya subsidi langsung diberikan kepada petani atau nelayan agar bisa membangun kedaulatan dan kemandiriannya,” katanya. Editor: Desy Saputra

Berita

Rawan Pangan

REPUBLIKA – Bencana dan musibah tidak mengenal waktu serta tempat. Dia bi sa datang kapan saja. Dia juga bisa menghinggapi di wilayah yang selama ini cukup aman. Bencana yang tidak mengenal wak tu itu selalu meninggalkan masalah yang harus segera diselesaikan. Di tengah gegap-gempita eforia pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla itulah ancaman rawan pangan muncul. Hujan yang lama tidak turun membuat tanah kering-kerontang. Kondisi ini membuat lahan pertanian tidak bisa berfungsi sehingga tidak mampu menghasilkan panen. Tidak itu saja, kekeringan inipun membuat krisis air minum terjadi di beberapa wilayah. Data menyebutkan di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, misal – nya, empat kecamatan rawan pangan tahun ini. Kecamatan yang terkena rawan pangan tersebut di antaranya sebelum ini tidak ter- masuk wilayah yang menjadi langganan rawan pangan saat hujan lama tidak turun. Di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Nagekeo, ribuan hektare sawah juga tidak teraliri air. Akibatnya ancaman rawan pangan karena musim panas berkepanjangan melanda wilayah ini. Tentu saja kita sangat prihatin dengan kondisi tersebut. Apalagi hiruk-pikuk pelantikan Presiden dan Wapres 2014-2019 baru beberapa hari berlangsung. Tidak hanya mata masyarakat seluruh Indonesia yang tertuju pada acara pelantikan Jokowi-JK. Mata masyarakat dunia juga mengarah ke Indonesia mengikuti acara itu. Bagi kita, masalah rawan pangan adalah tanggung jawab bersama. Karena itu, pemerintah Jokowi-JK yang sedang bulan madu ini tidak boleh terlena dan mengabaikan persoalan-persoalan yang melanda rakyat kecil. Rawan pangan pada kenyataan selalu melahirkan kemiskinan. Dan kemiskinan kerap melahirkan kesengsaraan. Tanggung jawab mengatasi kemiskinan dan membantu rakyat kecil adalah tanggung jawab pemerintah. Untuk itu, pemerintah harus segera bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah ini. Pemerintah, baik yang berada di pusat maupun di daerah harus bahu-membahu menyelesaikan masalah ini. Pemerintah daerah yang tidak memiliki cadangan pangan harus segera berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Sejauh ini melalui Perum Bulog, pemerintah pusat dapat menggunakan cadangan beras untuk membantu korban bencana yang terjadi di sejumlah daerah. Bagaimanpun fakta adanya daerah yang rawan pangan tidak boleh tergilas oleh isu penyusunan kabinet yang selalu menghiasi layar kaca, radio, surat kabar, maupun onlinesepanjang hari-hari belakangan ini. Masyarakat yang mengalami rawan pangan adalah bagian dari masyarakat kita yang sedang membutuhkan perhatian, sama halnya dengan rencana penyusunan menteri di kabinet Jokowi-JK. Dengan begitu, sudah selayaknya masalah kerawanan pangan harus menjadi perhatian dan segera dicari jalan keluarnya. Tanpa adanya jalan keluar yang cepat dan taktis, penderitaan masyarakat akan terus terjadi. Dan yang lebih harus diwaspadai adalah bahwa daerah rawan pangan bisa meluas dan penanganannya yang terlambat bukan tidak mungkin malah tidak berhasil menyelesaikan masalah ini dengan kondusif. Sumber: Tajuk Republika (23/10/2014)

Berita

Mewujudkan Era Baru Swasembada Pangan

CHRISTIAN DIOR MEDIA INDONESIA – Kedaulatan pangan bukanlah hal yang mustahil. Sebagai negara agraris, Indonesia berpotensi menghasilkan beragam produk pangan skala besar. PADA dekade 1980-an, Indonesia sempat mengalami era swasembada pangan. Merujuk pada momen keemasan itu, saat s ini Indonesia seharusnya sudah berdaulat atau mandiri di bidang pangan. Namun, jika melihat kenyataan hingga hari ini, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Syah Kuala Banda Aceh Abubakar Hakim berpendapat Indonesia masih jauh dari mimpi mencapai kedaulatan pangan. Pasalnya, untuk tahap kemandirian pangan saja, Indonesia belum memenuhi syarat. “Setidaknya kita harus mandiri dulu.Sebenarnya bukan hal yang sulit. Kita punya potensi pangan yang besar untuk itu. Hanya saja butuh dukungan dari semua pihak untuk mencapainya,” ujar Abubakar dalam diskusi bertajuk Membangun Kedaulatan Pangan: Antara Mimpi dan Kenyataan di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (14/10). Lemahnya kemandirian pangan Indonesia, menurut Abubakar, terindikasi dari maraknya produk pangan yang diimpor. Selain beras, jagung dan kedelai, Indonesia juga mengimpor daging sapi, gula, ikan, dan berbagai jenis buah-buahan. Parameter lainnya, lanjut Hakim, ialah jumlah lahan pertanian yang dimiliki satu kepala keluarga (KK) petani. Jika dibandingkan dengan Thailand, jumlah lahan yang dimiliki petani Indonesia tergolong sangat kecil. Petani Thailand rata-rata menguasai 3 hektare lahan, sedangkan rata-rata petani Indonesia hanya memiliki 0,3 hektare lahan. Sementara itu, di negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada, petani rata-rata memiliki lahan di atas 100 hektare. “Di sisi lain, pada era otonomi daerah, lahan-lahan subur buat pertanian juga terus dikonversi. Di tiap provinsi laju konversinya rata-rata sampai 10%.Bahkan ada lahan pertanian yang dikonversi menjadi gedung perkantoran buat pemerintah daerah,“ sebutnya. Abubakar pun menyarankan pemerintah untuk segera menghentikan laju konversi lahan pertanian.Pemerintah juga bisa mengambil alih lahan-lahan ‘tidur’ untuk dimanfaatkan para petani kita. Mengutip data Badan Pertanahan Nasional (BPN), menurut dia, setidaknya ada sekitar 5,4 juta hektare lahan yang tidak jelas kepemilikannya dan 1,9 juta hektare lahan hak guna usaha (HGU) yang tidak dimanfaatkan. “Berarti ada sekitar 7 juta hektare yang bisa diberikan atau dialihkan untuk dimanfaatkan para petani kita.Kalau itu bisa dilakukan, setidaknya kita bisa menyaingi Thailand, yaitu sekitar 2,5 hektare lahan per KK petani,“ jelas Abubakar. Selain dua saran itu, Abubakar menyatakan hal mendesak yang harus dilakukan ialah revitalisasi sistem pertanian di bidang infrastruktur. Untuk itu, sejumlah langkah yang bisa dilakukan, antara lain memperbaiki irigasi pertanian dalam skala besar, menyediakan benih dan pupuk murah serta membangun pasar bagi produkproduk pangan yang dihasilkan petani. “Untuk produk pangan yang bisa ditanam di dalam negeri, kita jangan sampai impor. Sediakan pasar dan beli produk-produk pangan petani dengan harga yang menguntungkan bagi mereka,“ cetus dia. Candu impor Terkait hal itu, pandangan senada diutarakan oleh pengamat pertanian yang juga utusan presiden bidang penanggulangan kemiskinan HS Dillon. Pemerintah kerap lebih senang memberikan lahan bagi perusahaan ketimbang bagi petani kecil. “Tidak ada keberpihakan pada rakyat kecil. Reformasi agraria tidak jalan. Sekarang konglomerat-konglomerat yang menguasai lahan,“ cetusnya. Ia juga mengingatkan pemerintah untuk tidak terus `terjebak’ dalam definisi ketahanan pangan versi Bank Dunia.“Ketahanan pangan itu menghalalkan impor, sedangkan kedaulatan pangan itu instrumennya kita yang tentukan.Jangan sampai kita terjebak dan terus mengimpor bahan pangan,“ cetusnya. Untuk mencapai kemandirian pangan, Dillon mengatakan pemerintah JokowiJK bisa mencontoh upaya pencapaian swasembada beras pada 1973-1983.Pada era itu, Indonesia mampu bertransformasi dari negara pengimpor beras menjadi negara swasembada beras. “Sistem untuk menyejahterakan petani juga terbangun. Penyuluh diturunkan untuk kerja lebih dekat dengan petani, harga beras dipatok sebelumnya sehingga petani bisa tahu berapa keuntungan mereka. Selain itu, Bulog disiapkan untuk melakukan pembelian dan menampung produk pangan,“ ungkap dia. Saran lain yang diberikan Dillon, Jokowi-JK perlu membentuk kementerian pertanian dan pembangunan perdesaan.Kementerian tersebut nantinya harus diberikan wewenang untuk membangun masyarakat desa, mengatur perdagangan komoditas pangan dan membangun infrastruktur pendukung pertanian. “Pertanian jangan diletakkan di bawah kementerian koordinator. Tidak akan efektif. Kalau dananya masih di lembaga lain, enggak akan berhasil,“ cetusnya. Saran lain datang dari Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sumatra Selatan H Permana. Ia menekankan perlunya revitalisasi bekas unit-unit permukiman transmigrasi (UPT) dan mengubahnya menjadi kota terpadu mandiri yang berbasis pada komoditas pangan atau sesuai dengan potensi karakteristik daerah. (S-5) [email protected]

Scroll to Top