Pertanian Sehat Indonesia

Terganjal Rantai Suplai

ANSHAR DWI WIBOWO

MEDIA INDONESIA – Kementerian Pertanian mencatat ada 700 kasus konflik lahan yang terkait dengan pertanian dan perkebunan.

SEIRING dengan pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya jumlah penduduk, Indonesia dihadapkan kepada kenaikan konsumsi pangan.Namun, tantangan kian mengemuka karena penciptaan ketahanan pangan masih terkendala rantai suplai.

Indeks ketahanan pangan Indonesia bahkan kalah dari Singapura yang notabene bukan negara agraris. “Kenapa ketahanan pangan Singapura lebih kuat? Karena supply chain-nya betul-betul kuat untuk Singapura. Masalah ketahanan pangan itu di supply chain,“ ujar Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan dalam Refleksi Tiga Tahun Pelaksanaan MP3EI 2011-2025 di Jakarta, kemarin.

Dari sisi permintaan, ada pertumbuhan jumlah penduduk 1,4% per tahun atau sebanyak 3,5 juta jiwa per tahun. Jumlah tersebut diibaratkan bisa mencetak Singapura baru setiap tahunnya. Saat ini jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai sekitar 250 juta jiwa.

Jumlah masyarakat kelompok menengah yang pengeluarannya minimal US$2 dolar per hari juga terus naik. Pada 2003 jumlahnya baru sekitar 37,7% dari jumlah penduduk. Di 2010, pangsanya 56,5%.

Permasalahan kemudian ialah diversifikasi pangan belum optimal sehingga konsumsi pangan masyarakat masih monokultur dengan fokus ke beras. Konsumsinya mencapai 130 kg per kapita per tahun. Sebagai pembanding, Jepang hanya 30 kg per kapita per tahun.

Kondisi itu barang tentu berimplikasi pada bertambahnya kebutuhan pangan.Alhasil, kenaikan produktivitas beras 10 juta ton selama 2004 ke 2014 seolah nyaris tidak berarti. “Artinya, posisi swasembada pangan belum bisa dikatakan mantap untuk tahun-tahun berikut,“ tutur Rusman.

Keterbatasan lahan juga masih jadi problem. Sementara itu, upaya ekstensifikasi lahan pertanian di luar Pulau Jawa tidak jarang memantik konflik.

Pun, infrastruktur penunjang pertanian seperti bendungan atau saluran irigasi belum memadai. “Kira-kira 40% bandungan kita tidak bekerja optimal, boleh dikatakan sangat rendah produktivitas bendungan dan irigasi kita,“ ucap Rusman.

Hasil produksi pertanian juga masih ter ganjal gejolak harga. Maka itu, ia berharap Kemendag bisa meredam hal tersebut agar harga pangan tidak merosot ketika panen, tapi juga tidak mencekik kala paceklik. langan produksi dalam setiap tahapan.“Kita juga berharap dari konektivitas yang dibangun dalam kerangka MP3EI,“ imbuh Rusman.

Anggota Komite Ekonomi Nasional Hermanto Siregar mengatakan pengembangan pertanian juga harus mempertimbangkan bahwa pangan bukan lagi sekadar kebutuhan pokok. Itu berhubungan dengan proyeksi MP3EI yang membidik Indonesia masuk 10 negara terbesar pada 2025 dan enam besar pada 2045. Menurutnya, pada 2025 dan 2045 tren pangan berkembang jadi bagian dari gaya hidup dan berdimensi kesehatan. “Jadi harus lebih tinggi perhatian kualitas dan olahan-olahan yang berhubungan dengan kesehatan,“ tuturnya. (E-2) [email protected]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.