CHRISTIAN DIOR
MEDIA INDONESIA – Kedaulatan pangan bukanlah hal yang mustahil. Sebagai negara agraris, Indonesia berpotensi menghasilkan beragam produk pangan skala besar.
PADA dekade 1980-an, Indonesia sempat mengalami era swasembada pangan. Merujuk pada momen keemasan itu, saat s ini Indonesia seharusnya sudah berdaulat atau mandiri di bidang pangan.
Namun, jika melihat kenyataan hingga hari ini, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Syah Kuala Banda Aceh Abubakar Hakim berpendapat Indonesia masih jauh dari mimpi mencapai kedaulatan pangan. Pasalnya, untuk tahap kemandirian pangan saja, Indonesia belum memenuhi syarat.
“Setidaknya kita harus mandiri dulu.Sebenarnya bukan hal yang sulit. Kita punya potensi pangan yang besar untuk itu. Hanya saja butuh dukungan dari semua pihak untuk mencapainya,” ujar Abubakar dalam diskusi bertajuk Membangun Kedaulatan Pangan: Antara Mimpi dan Kenyataan di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (14/10).
Lemahnya kemandirian pangan Indonesia, menurut Abubakar, terindikasi dari maraknya produk pangan yang diimpor.
Selain beras, jagung dan kedelai, Indonesia juga mengimpor daging sapi, gula, ikan, dan berbagai jenis buah-buahan.
Parameter lainnya, lanjut Hakim, ialah jumlah lahan pertanian yang dimiliki satu kepala keluarga (KK) petani. Jika dibandingkan dengan Thailand, jumlah lahan yang dimiliki petani Indonesia tergolong sangat kecil.
Petani Thailand rata-rata menguasai 3 hektare lahan, sedangkan rata-rata petani Indonesia hanya memiliki 0,3 hektare lahan. Sementara itu, di negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada, petani rata-rata memiliki lahan di atas 100 hektare.
“Di sisi lain, pada era otonomi daerah, lahan-lahan subur buat pertanian juga terus dikonversi. Di tiap provinsi laju konversinya rata-rata sampai 10%.Bahkan ada lahan pertanian yang dikonversi menjadi gedung perkantoran buat pemerintah daerah,“ sebutnya.
Abubakar pun menyarankan pemerintah untuk segera menghentikan laju konversi lahan pertanian.Pemerintah juga bisa mengambil alih lahan-lahan ‘tidur’ untuk dimanfaatkan para petani kita.
Mengutip data Badan Pertanahan Nasional (BPN), menurut dia, setidaknya ada sekitar 5,4 juta hektare lahan yang tidak jelas kepemilikannya dan 1,9 juta hektare lahan hak guna usaha (HGU) yang tidak dimanfaatkan.
“Berarti ada sekitar 7 juta hektare yang bisa diberikan atau dialihkan untuk dimanfaatkan para petani kita.Kalau itu bisa dilakukan, setidaknya kita bisa menyaingi Thailand, yaitu sekitar 2,5 hektare lahan per KK petani,“ jelas Abubakar.
Selain dua saran itu, Abubakar menyatakan hal mendesak yang harus dilakukan ialah revitalisasi sistem pertanian di bidang infrastruktur.
Untuk itu, sejumlah langkah yang bisa dilakukan, antara lain memperbaiki irigasi pertanian dalam skala besar, menyediakan benih dan pupuk murah serta membangun pasar bagi produkproduk pangan yang dihasilkan petani.
“Untuk produk pangan yang bisa ditanam di dalam negeri, kita jangan sampai impor. Sediakan pasar dan beli produk-produk pangan petani dengan harga yang menguntungkan bagi mereka,“ cetus dia. Candu impor Terkait hal itu, pandangan senada diutarakan oleh pengamat pertanian yang juga utusan presiden bidang penanggulangan kemiskinan HS Dillon. Pemerintah kerap lebih senang memberikan lahan bagi perusahaan ketimbang bagi petani kecil.
“Tidak ada keberpihakan pada rakyat kecil. Reformasi agraria tidak jalan. Sekarang konglomerat-konglomerat yang menguasai lahan,“ cetusnya.
Ia juga mengingatkan pemerintah untuk tidak terus `terjebak’ dalam definisi ketahanan pangan versi Bank Dunia.“Ketahanan pangan itu menghalalkan impor, sedangkan kedaulatan pangan itu instrumennya kita yang tentukan.Jangan sampai kita terjebak dan terus mengimpor bahan pangan,“ cetusnya.
Untuk mencapai kemandirian pangan, Dillon mengatakan pemerintah JokowiJK bisa mencontoh upaya pencapaian swasembada beras pada 1973-1983.Pada era itu, Indonesia mampu bertransformasi dari negara pengimpor beras menjadi negara swasembada beras.
“Sistem untuk menyejahterakan petani juga terbangun. Penyuluh diturunkan untuk kerja lebih dekat dengan petani, harga beras dipatok sebelumnya sehingga petani bisa tahu berapa keuntungan mereka. Selain itu, Bulog disiapkan untuk melakukan pembelian dan menampung produk pangan,“ ungkap dia.
Saran lain yang diberikan Dillon, Jokowi-JK perlu membentuk kementerian pertanian dan pembangunan perdesaan.Kementerian tersebut nantinya harus diberikan wewenang untuk membangun masyarakat desa, mengatur perdagangan komoditas pangan dan membangun infrastruktur pendukung pertanian.
“Pertanian jangan diletakkan di bawah kementerian koordinator. Tidak akan efektif. Kalau dananya masih di lembaga lain, enggak akan berhasil,“ cetusnya.
Saran lain datang dari Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sumatra Selatan H Permana.
Ia menekankan perlunya revitalisasi bekas unit-unit permukiman transmigrasi (UPT) dan mengubahnya menjadi kota terpadu mandiri yang berbasis pada komoditas pangan atau sesuai dengan potensi karakteristik daerah. (S-5) [email protected]