MEDIA INDONESIA – PUPUT MUTIARA
Pemanfaatan lahan marginal untuk tanaman singkong juga berdampak positif pada perbaikan lingkungan pada lahan tersebut.
PEMANFAATAN lahan-lahan marginal agar lahan itu tak mengalami kerusakan lebih parah masih minim. Padahal, hampir 60% atau sekitar 60 juta hektare lahan dari total 100 juta hektare ialah lahan marginal.
“Karena itulah, pemanfaatan lahan-lahan marginal harus dilakukan pemerintah kita,” kata Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember Subagio kepada Media Indonesia di Jakarta, pekan lalu.
Lahan marginal ialah lahan yang telah kehilangan kemampuan mendukung kegiatan siologis tumbuhan akibat proses kerusakan alam atau akibat aktivitas manusia sehingga butuh perlakuan lebih untuk kegiatan ekonomi.
Menurut dia, singkong dapat menjadi solusi dalam peman faatan lahan marginal.
Singkong bisa tumbuh baik bukan hanya di lahan-lahan subur melainkan juga di lahan marginal atau lahan kritis.
Pada lahan gambut di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, misalnya, sudah ada 200 hektare perkebunan singkong yang kini mampu menghasilkan 80-90 ton singkong per hektare.
“Rencananya mau dikembangkan lagi menjadi 1.200 hektare, termasuk daerahdaerah terpencil lainnya seperti Wonogiri, Jawa Tengah, dan Jawa bagian selatan.“
Ia menjelaskan lahan marginal atau lahan kritis umumnya banyak ditemui di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Pulau Jawa bagian selatan. Di wilayah itu, masyarakat miskin banyak menggantungkan hidup pada lahan tersebut.
Menurut Subagio, mestinya pemerintah bisa mengembangkan lahan marginal secara maksimal. Salah satunya melalui memberi pembekalan kepada petani singkong, dengan memperkenalkan teknologi dan beragam pembinaan.
“Dengan begitu, melalui tanaman singkong, lahan marginal bisa dikembangkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat,“ ungkap dia.
Saat ini saja, produksi singkong di Tanah Air mencapai 24 juta ton per tahun dengan harga jual Rp1.200 per kilogram. Kalau dihitung, potensi pendapatan bahan baku singkong rata-rata mencapai Rp25 triliun per tahun.
Bahan baku singkong bisa diolah menjadi berbagai produk seperti tapioka dan gaplek. Belum lagi turunannya, singkong juga bisa dijadikan bahan garmen dan MSG (penyedap).
“Artinya, singkong sangat potensial untuk dikembang kan termasuk jadi komoditas untuk swasembada pangan.Tinggal upaya pemerintah agar serius menangani ini sehingga lahan marginal yang ada tidak semakin rusak,“ tukas Subagio. Kembali subur Pada kesempatan yang sama, Dewan Pengurus Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) Endang Sukara menambahkan, singkong sebenarnya salah satu keanekaragaman hayati khas Indonesia yang dapat dijadikan sebagai modal untuk merajai pasar internasional.
“Makanan dari Indonesia ini sebetulnya berpotensi berkembang. Paling tidak, pemerintah bisa mengembangkan agar setiap lima tahunnya ada makanan yang masuk ke pasar internasional,“ tandasnya.
Di sisi lain, mengembangkan singkong di lahan marginal memberi dampak positif untuk perbaikan lingkungan di lahan-lahan margi nal agar bisa kembali subur.
Kuncinya, jelas Endang, ada pada pembangunan yang inklusif. Pemerintah harus melihat pembangunan tak sekadar daerah-daerah yang subur, tetapi juga daerah marginal yang selama ini tak tergarap pun harus dikerjakan.
“Dengan memberdayakan potensi yang ada pada lahanlahan marginal, pembangunan kesejahteraan manusia pun tidak terabaikan,“ tukas Endang. (H-2) [email protected]