Pertanian Sehat Indonesia

Bukan Hanya sebuah Kisah

Di sebuah desa ada seorang petani, sebut saja namanya Fulan. Sesaat dia termenung. Padahal saat melihat tanaman padi yang siap panen dia sempat tersenyum.

Disebuah desa ada seorang petani, sebut saja namanya Fulan. Sesaat dia termenung. Padahal saat melihat tanaman padi yang siap panen dia sempat tersenyum. Hasil kali ini terlihat bernas, bagus dan terlihat banyak. Namun kemudian dia menampakkan wajah murung dengan tubuh yang terlihat lunglai. Ada apa gerangan?

Terbayang dibenaknya bahwa hasil panen kali inipun sebagian besar bahkan nyaris tidak menyisakan buat dia dan keluarganya. Pasalnya dia harus membayar hutang kepada rentenir sejak tiga tahun lalu. Seolah hutang tersebut tidak pernah lunas. Hasil yang baguspun belum tentu menutup seluruh hutangnya.

Dia ingat betul bahwa hutang tiga tahun lalu hanya sebesar biaya pembelian obat pertanian dan pupuk. Seseorang yang meminjaminya menyambut dengan wajah tersenyum disebuah rumah yang paling mewah didesa itu. Walau senyumannya nampak tidak iklas dan nampak menyembunyikan sesuatu. Namun karena Fulan memerlukan obat pertanian dan pupuk saat itu, akhirnya Fulan menyampaikan niatnya pinjam uang kepada orang itu.

Saat itu dana yang sepakat dipinjam senilai 1 juta rupiah. Namun bukan 1 juta rupiah yang diterima Fulan, karena ada uang administrasi dan tanda jadi sebesar 10 persen. Sehingga dana yang diterima Fulan sembilan ratus rupiah. Bisa jadi Fulan merasa tidak iklas saat itu. Tapi pikirannya melayang ke tanaman padi disawahnya yang saat itu mulai terlihat menguning. Akhirnya diterimalah uang tersebut.

Sebelum melangkah pulang, seseorang yang meminjami uang tersebut memberitahu kepada Fulan persyaratan tambahan. “Kang, jangan lupa cicilannya bulan pertama seratus ribu ditambah bunganya satu persen saja per hari”. Fulan belum sempat berpikir, orang tersebut menyambung kata-kata sebelumnya, “Itu sudah bunga paling rendah yang saya berikan, itung-itung perkenalan dengan akang”. Sambil berpamitan, Fulan yang sudah mengantongi uang bergegas untuk belanja obat pertanian dan pupuk di kios pertanian dekat dengan pasar.

Rupanya, saat transaksi pinjam-meminjam tersebut Fulan tidak betul-betul tahu resikonya dengan meminjam dana tersebut. Bulan pertamapun kewajiban membayar hutang tersebut akhirnya datang. Padahal panen padi masih lama, berbungapun belum. Akhirnya dengan segala kemampuan Fulan berhasil mengumpulkan uang untuk membayar cicilan bulan pertama sebesar seratus tigapuluh ribu. Seratus ribu adalah cicilan pokok dan tigapuluh ribu adalah bunga.

Dalam perjalanan menuju rumah orang yang telah meminjaminya, Fulan mencoba menghitung hutang yang harus dicicil. Sambil sesekali tangannya bergerak seolah menuliskan angka-angka. Fulan berencana akan melunasi dalam sepuluh bulan. Jika demikian dia harus membayar hutangnya sebesar 1,3 juta dalam sepuluh bulan. Fulan tidak sadar bahwa bunga pinjaman secara akumulasi mencapai 300 persen.

Secara teori terlihat mudah, namun ada klausul-klausul dalam perjanjian tersebut yang tidak pernah disampaikan diawal. Sebagai contoh, jika tidak bisa membayar maka cicilan perbulannya akan dikenakan denda sebesar sepuluh persen setiap hari. Bila selama tiga bulan berturut-turut tidak bisa mencicil, maka cicilan yang terkena denda tersebut akan didenda sepuluh persen setiap bulannya. Dan yang parah lagi, bila tidak sanggup melunasi dalam setahun, maka surat tanah harus dititipkan atau ditahan oleh rentenir tersebut.

Dan sekarang sudah tiga tahun berlalu. Hutangnya tidak kunjung lunas, bahkan surat tanah sawahnya sudah berpindah tangan kepada orang yang meminjaminya tersebut. Astagfirullah, sambil mengelus dada Fulan menyadari kekeliruannya. Berhubungan dengan rentenir merupakan kesalahan terbesar dan tentu saja berbuat dosa. Selain rugi didunia akan merugi di akherat.

Kisah ini terinspirasi dari kejadian nyata yang banyak dialami oleh para petani di Indonesia. Petani sangat memerlukan ilmu dan pengetahuan. Tidak hanya itu, bahwa petani juga perlu diperhatikan dan difasilitasi. Mereka telah memberikan subsidi yang begitu besar buat menyelamatkan devisa negara. Berapa banyak mulut dan perut yang telah menikmati hasil kerja keras mereka. Semoga yang kita lakukan masih bisa ikut berkontribusi membangun pertanian Indonesia. [jo]

Hasil kali ini terlihat bernas, bagus dan terlihat banyak. Namun kemudian dia menampakkan wajah murung dengan tubuh yang terlihat lunglai. Ada apa gerangan?

Terbayang dibenaknya bahwa hasil panen kali inipun sebagian besar bahkan nyaris tidak menyisakan buat dia dan keluarganya. Pasalnya dia harus membayar hutang kepada rentenir sejak tiga tahun lalu. Seolah hutang tersebut tidak pernah lunas. Hasil yang baguspun belum tentu menutup seluruh hutangnya.

Dia ingat betul bahwa hutang tiga tahun lalu hanya sebesar biaya pembelian obat pertanian dan pupuk. Seseorang yang meminjaminya menyambut dengan wajah tersenyum disebuah rumah yang paling mewah didesa itu. Walau senyumannya nampak tidak iklas dan nampak menyembunyikan sesuatu. Namun karena Fulan memerlukan obat pertanian dan pupuk saat itu, akhirnya Fulan menyampaikan niatnya pinjam uang kepada orang itu.

Saat itu dana yang sepakat dipinjam senilai 1 juta rupiah. Namun bukan 1 juta rupiah yang diterima Fulan, karena ada uang administrasi dan tanda jadi sebesar 10 persen. Sehingga dana yang diterima Fulan sembilan ratus rupiah. Bisa jadi Fulan merasa tidak iklas saat itu. Tapi pikirannya melayang ke tanaman padi disawahnya yang saat itu mulai terlihat menguning. Akhirnya diterimalah uang tersebut.

Sebelum melangkah pulang, seseorang yang meminjami uang tersebut memberitahu kepada Fulan persyaratan tambahan. “Kang, jangan lupa cicilannya bulan pertama seratus ribu ditambah bunganya satu persen saja per hari”. Fulan belum sempat berpikir, orang tersebut menyambung kata-kata sebelumnya, “Itu sudah bunga paling rendah yang saya berikan, itung-itung perkenalan dengan akang”. Sambil berpamitan, Fulan yang sudah mengantongi uang bergegas untuk belanja obat pertanian dan pupuk di kios pertanian dekat dengan pasar.

Rupanya, saat transaksi pinjam-meminjam tersebut Fulan tidak betul-betul tahu resikonya dengan meminjam dana tersebut. Bulan pertamapun kewajiban membayar hutang tersebut akhirnya datang. Padahal panen padi masih lama, berbungapun belum. Akhirnya dengan segala kemampuan Fulan berhasil mengumpulkan uang untuk membayar cicilan bulan pertama sebesar seratus tigapuluh ribu. Seratus ribu adalah cicilan pokok dan tigapuluh ribu adalah bunga.

Dalam perjalanan menuju rumah orang yang telah meminjaminya, Fulan mencoba menghitung hutang yang harus dicicil. Sambil sesekali tangannya bergerak seolah menuliskan angka-angka. Fulan berencana akan melunasi dalam sepuluh bulan. Jika demikian dia harus membayar hutangnya sebesar 1,3 juta dalam sepuluh bulan. Fulan tidak sadar bahwa bunga pinjaman secara akumulasi mencapai 300 persen.

Secara teori terlihat mudah, namun ada klausul-klausul dalam perjanjian tersebut yang tidak pernah disampaikan diawal. Sebagai contoh, jika tidak bisa membayar maka cicilan perbulannya akan dikenakan denda sebesar sepuluh persen setiap hari. Bila selama tiga bulan berturut-turut tidak bisa mencicil, maka cicilan yang terkena denda tersebut akan didenda sepuluh persen setiap bulannya. Dan yang parah lagi, bila tidak sanggup melunasi dalam setahun, maka surat tanah harus dititipkan atau ditahan oleh rentenir tersebut.

Dan sekarang sudah tiga tahun berlalu. Hutangnya tidak kunjung lunas, bahkan surat tanah sawahnya sudah berpindah tangan kepada orang yang meminjaminya tersebut. Astagfirullah, sambil mengelus dada Fulan menyadari kekeliruannya. Berhubungan dengan rentenir merupakan kesalahan terbesar dan tentu saja berbuat dosa. Selain rugi didunia akan merugi di akherat.

Kisah ini terinspirasi dari kejadian nyata yang banyak dialami oleh para petani di Indonesia. Petani sangat memerlukan ilmu dan pengetahuan. Tidak hanya itu, bahwa petani juga perlu diperhatikan dan difasilitasi. Mereka telah memberikan subsidi yang begitu besar buat menyelamatkan devisa negara. Berapa banyak mulut dan perut yang telah menikmati hasil kerja keras mereka. Semoga yang kita lakukan masih bisa ikut berkontribusi membangun pertanian Indonesia. [jo]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.