Pertanian Sehat Indonesia

Pemanfaatan Daun Bambu untuk Membangun Kesuburan Lahan

Inilah upaya inovatif para petani dalam menggantikan pupuk kimia dengan pupuk organik, dalam rangka memperbaiki kesuburan tanah dan penekanan terhadap biaya usaha tani.

Dampak revolusi hijau yang dialami oleh petani Dukuh Waru diantaranya adalah hilangnya jenis padi lokal, seperti Sempol, Serung, Rening, Cempo Wungkal, Grentel dan Ketan Merah…

Persoalan kesuburan tanah merupakan persoalan yang penting. Sebuah persoalan yang kerap ditemui oleh para petani. Hal tersebut juga terjadi di Dukuh Waru, Desa Pengkol, Kecamatan Karanggede, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Sekilas, tidak ada sesuatu yang istimewa dari pedukuhan Waru ini. Namun, jika diperhatikan dan ingin belajar tentang pertanian berkelanjutan (Sustainable Agriculture), pedukuhan ini menjadi menarik dan layak untuk dijadikan rujukan belajar mengenai pertanian berkelanjutan.

Menjelang tahun 2000-an, Petani Dukuh Waru mulai akrab kembali dengan teknologi ramah lingkungan dalam budidaya pertaniannya. Teknologi ramah lingkungan adalah teknologi terapan yang mudah dipahami dan dipraktekkan oleh petani, murah dari segi bahan baku, dan aman bagi lingkungan. Contoh teknologi ramah lingkungan yang paling mudah ditemui adalah kompos. Kembalinya teknologi ramah lingkungan atau teknologi kompos di dalam budaya bertani Warga Dukuh Waru, bukanlah sebuah perjalanan yang pendek dan langsung jadi, namun sangat panjang dan penuh liku.

Mengapa dikatakan “kembalinya teknologi”? Karena berdasarkan hasil penelitian, menyebutkan bahwa pada tahun 1950-an dan tahun-tahun sebelumnya di Dukuh Waru, budaya bertani masih menggunakan cara-cara tradisional. Cara tradisional sangat menjunjung tinggi kearifan dan penghargaan terhadap lingkungan. jahteraan). Pada saat itu, pupuk yang dipergunakan hanyalah pupuk kandang, dedaunan kering, dan limbah pertanian lainnya. Dengan menggunakan pupuk tersebut, petani sudah cukup puas, karena tanaman sudah mampu tumbuh subur walaupun tanaman padi sering roboh.

Lalu, kemana perginya pengetahuan dan teknologi lokal petani Dukuh Waru selama ini? Ada banyak faktor yang menjadikan pengetahuan tersebut tenggelam dari kehidupan petani Dukuh Waru. Salah satunya adalah adanya elombang “revolusi hijau”.

Sebenarnya, petani di wilayah ini tidak mengetahui secara pasti apa yang dimaksud dengan istilah revolusi hijau. Namun faktanya, mereka mulai mengenal pupuk kimia sejak tahun 1954, yang dikenal dengan istilah pupuk DS (dasar). Sejak masuknya pupuk DS tersebut, petani mulai mengurangi penggunaan pupuk lokal (pupuk kandang dan kompos), lalu beralih ke pupuk kimia. Revolusi Hijau ini mulai menjadi gelombang besar kurang lebih pada tahun 1960-an, yang ditandai dengan adanya penyebaran varietas-varietas baru (hasil silangan) ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kemudian, pada tahun 1970-an revolusi hijau ditandai dengan adanya varietas baru seperti PB 5 dan PB 8 (bahasa petani: padi sentral) yang dipromosikan (istilah petani: dipaksakan) secara besar-besaran. Promosi varietas-varietas baru tersebut tidaklah berjalan sendiri, karena promosi tersebut juga dibarengi dengan masuknya pupuk kimia (urea) yang menjadi syarat utama dalam penanaman varietas baru tersebut. Penggunaan pupuk kandang mengalami penurunan karena pupuk urea dapat dipergunakan lebih praktis dan hasilnya bisa segera dilihat oleh si pemakai.. Petani yang dulu akrab dengan teknologi ramah lingkungan dan mampu mengembangkan pengetahuan lokal, mulai terkikis habis menjadi pengetahuan dan budaya instan yang merusak atau tidak ramah lingkungan. Kesuburan tanah menurun dari tahun ketahun

Daun Bambu Mulai Dilirik Petani

Kini mereka tidak lagi tergantung pada pupuk dan pestisida kimia. Setelah mendapat bimbingan dari beberapa LSM yang peduli mereka telah menerapkan pertnaian yang ramah lingkungan. Berdasarkan pengalaman bertahun-tahun dalam penggunaan kompos, beberapa petani mengatakan pupuk kandang yang kandungannya tunggal, ternyata menyebabkan pertumbuhan tanaman terlalu subur sehingga sangat disukai oleh hama tikus maupun wereng.

Oleh karena itu petani Dukuh Waru mengembangkan kreatifitasnya untuk meningkatkan mutu kompos dengan menggunakan “bahan dasar” dan “bahan tambahan”. Bahan dasar, merupakan bahan-bahan penyusun kompos yang diperlukan dalam jumlah besar dan tersedia di wilayah setempat seperti jerami, kotoran ternak maupun abu sekam. Sedangkan bahan tambahan adalah: kapur, bakteri dan starbio.

Setelah menggunakan kompos yang dibuat dengan bakteri, petani masih merasa belum puas karena tanaman padinya masih kuning dan kerdil. Mereka menduga bahwa hal ini disebabkan oleh rendahnya pH tanah, yang belum bisa diselesaikan hanya dengan menggunakan kompos.

Berdasarkan informasi dari salah satu petani di desa lain, daun bambu mengandung banyak unsur P dan K. Kedua unsur ini sangat berguna bagi perbaikan struktur tanah dan bagi pertumbuhan tanaman. Petani tersebut telah mencoba di lahannya sendiri. Dengan menambahkan daun bambu kering ke lahan sawah, ia tidak perlu lagi menggunakan pupuk P dan K. Dengan demikian petani tersebut tidak lagi menggunakan pupuk kimia sama sekali setelah memakai kompos ditambah dengan daun bambu kering. Beberapa orang petani Dukuh Waru mencoba pengalaman tersebut di lahan mereka. Ternyata dari hasil percobaannya terbukti, bahwa kesuburan dan produksi padi yang dipupuk dengan “P” dan “K” kimia tidak berbeda dengan padi yang hanya diberikan daun bambu kering.

Mulai saat itu, daun bambu yang semula hanya dibakar dan dibiarkan berserakkan di kebun “tegalan” sekarang seperti menjadi barang berharga dan selalu mendapat perhatian bagi semua orang di Dukuh Waru.

Banyak ahli yang mengatakan bahwa pengembangan kompos atau pupuk organik memiliki banyak kendala, diantaraya diperlukannya jumlah besar kompos/pupuk organik untuk per luasan lahan. Sehingga sering jumlahnya tidak mencukupi dan memerlukan biaya angkut yang tinggi.

Satu lagi, yang sering dianggap sebagai kendala dalam pembuatan dan penerapan kompos adalah banyaknya waktu maupun tenaga yang diperlukan. Sehingga banyak petani yang tidak bersedia untuk menggunakan teknologi yang kurang praktis ini.

Menghadapi persoalan semacam itu, petani Dukuh Waru pun belajar bagaimana membawa kompos dan bahan organik sebanyak mungkin ke sawah tanpa perlu menambah jam kerja. Petani Dukuh Waru membawa daun bambu dan kotoran hewan ketika berangkat ke sawah sehari 2 kali. Dan itu dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki. Cara yang diterapkan oleh petani di Dukuh Waru tersebut membuat kendala penerapan pupuk kompos dan pupuk organik lainnya menjadi “tidak berarti”. Persoalan jumlah, mereka atasi dengan menggunakan daun bambu dan seresah tanaman lainnya. Persoalan biaya pengangkutan mereka atasi dengan mengangkutnya pada waktu musim kemarau, dimana petani tidak banyak pekerjaan..

Sumber : Sutoyo dalam Majalah Salam edisi 5 Juni 2003

5 thoughts on “Pemanfaatan Daun Bambu untuk Membangun Kesuburan Lahan”

  1. gunawan agung w

    Pemanfaatan Daun Bambu untuk Membangun Kesuburan Lahan

    yang saya ingin tanyakan:
    1. apakah air daun bambu yang difermentasi/direndam air,kemudian diambir airnya sama fungsinya dan kandunganya jika dibandingkan dijadikan kompos?
    2. apakah akar bambu juga dapat dimanfaatkan (direndam diambil airnya)dan apa kandungannya?

    terima kasih
    gunawan a.w.

  2. Maman Gantra

    Dalam sejumlah artikel disebutkan,daun bambu yang difermentasi juga bisa menjadi pakan ternak. Pertanyaan saya: Berapa banyak sebenarnya kadar protein daun bambu?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.