CORNELIUS EKO SUSANTO
MEDIA INDONESIA – Pertanian tidak mampu menarik minat kaum muda. Pasalnya, pendapatan petani jauh tertinggal ketimbang upah minimum regional.
KETAHANAN pangan nasional menghadapi tantangan yang semakin berat dari tahun ke tahun. Di satu sisi konversi lahan tanaman pangan berlangsung secara masif diiringi menyusutnya jumlah petani. Di sisi lain, jumlah penduduk terus meningkat.
Ketimpangan pembangunan terus mendorong penduduk desa berhijrah ke kota dengan harapan mendapat penghidupan lebih baik. Arus urbanisasi itu tentu memiliki implikasi yang tidak bisa dipandang enteng, yakni jumlah petani yang terus berkurang.
Rumah-rumah tangga petani yang memang berbasis di perdesaan menyusut kurang lebih 5 juta orang dalam satu dekade terakhir. Laporan itu berdasarkan perbandingan Survei Pertanian 2003 dengan 2013 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS).
Penyusutan terbesar rumah tangga petani terjadi di Jawa Tengah, diikuti Jawa Timur, dan Jawa Barat. (lihat grafik)
“Ketiga provinsi itu lumbung padi nasional. Jika terus me nyusut, cita-cita meraih swasembada pangan akan sulit terwujud,” sebut Guru Besar Ekonomi Pertanian Unila Bustanul Arifin, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Bustanul mengatakan bidang pertanian di perdesaan tidak lagi menarik minat kebanyakan kaum muda.
Berdasarkan survei BPS per Juli tahun ini, rerata pendapatan rumah tangga petani per tahun hanya
Rp12, 4 juta atau sekitar Rp1 juta per bulan. Jauh tertinggal ketimbang upah minimum regional (UMR) saat ini.
Untung saja pada saat ini produksi padi masih mencukupi. Namun, kata Bustanul, produk lain seperti jagung, kedelai, dan gula sudah mulai menurun dan harus ditambal dengan impor. Tanpa ada solusi yang tepat, niscaya di masa depan ketahanan pangan di Indonesia semakin terancam.
Hal senada dikemukakan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal. Tidak diperhatikannya bidang pertanian di desa yang menimbulkan urbanisasi telah menyebabkan sejumlah wilayah di perkotaan mengalami kelebihan penduduk.
Pada gilirannya, hal itu berdampak negatif di perkotaan. Seperti meningkatnya pengangguran, kemiskinan, kawasan kumuh, masalah tumpukan sampah, dan pen cemaran lingkungan.
Memiskinkan Luas lahan pertanian pangan juga terus menyusut, khususnya di wilayah Pulau Jawa.
Bustanul menilai pemerintah gagal mencegah alih fungsi lahan yang masif.
Itu diperparah dengan ketidakberanian pemerintah mengambil risiko untuk menggeser basis produksi pangan ke luar Jawa.
Lebih jauh Bustanul mengingatkan, kelangkaan bahan pangan, khususnya beras, dapat bermuara pada penurunan gizi dan bertambahnya penduduk miskin.
Pasalnya, ketergantungan masyarakat pada produk beras sangat tinggi, yakni 113,5 kg/ka pita.
Sementara itu, konsumi masyarakat terhadap pangan lain, terutama protein dan vitamin, sangat rendah, jauh lebih rendah daripada konsumsi rokok.
“Kontribusi kenaikan harga beras pada inflasi cukup tinggi, yakni mencapai 25%. Jadi kalau harga beras naik, otomatis jumlah penduduk miskin akan semakin bertambah,“ tutur Bustanul.
Ia berharap presiden baru nanti meletakkan program kependudukan sebagai bagian integral dari pembangunan kedaulatan pangan. (E-1) [email protected]