Pertanian Sehat Indonesia

Menelusuri Eksistensi Kopi Gayo dan Nasib Para Petaninya

ACEH – Eksistensi kopi gayo Aceh memang tidak dapat diragukan lagi baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Secara kuantitas dataran tinggi gayo tempat asal budidaya kopi merupakan salah satu penghasil kopi terbesar di Indonesia bahkan dunia. Aceh-Eksistensi kopi gayo Aceh memang tidak dapat diragukan lagi baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Secara kuantitas dataran tinggi gayo tempat asal budidaya kopi merupakan salah satu penghasil kopi terbesar di Indonesia bahkan dunia. Demikian juga secara kualitas, citarasa dan aroma kopi gayo sudah sangat terkenal di dunia sehingga memiliki pasar luas di berbagai negara. Secara legalitas hukum pun, eksistensi kopi gayo juga sudah memiliki sertifikasi indikasi geografis (IG) yang disahkan pada Tanggal 28 April 2010 dengan nomor ID G 000000005. Dengan eksistensi kopi gayo yang begitu kuat apakah realitasnya telah memberikan dampak dan kesejahteraan petani kopi gayo di tingkat lapangan?Pertanyaan inilah yang kemudian menjadi isu utama dalam kegiatan survai dan need assesment tim Dompet Dhuafa selama lebih dari satu minggu di Aceh Tengah. Tim Dompet Dhuafa yang digawangi oleh Pertanian Sehat Indonesia berangkat dari Jakarta pada hari Senin (07/10/13) dan secara khusus membawa misi penggalian data perkopian di Aceh Tengah khususnya di daerah yang pada tanggal 2 Juli 2013 terkena bencana gempa bumi.

Telah kita ketahui bahwa kopi gayo adalah nama produk kopi arabika yang ditanam di Dataran Tinggi Gayo. Ada tiga kabupaten di dalamnya, Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Dengan total luasan tanam (2010) mencapai sekitar 95.500 hektar, yang terdiri atas 48.500 hektar di Aceh Tengah, 39.000 hektar di Bener Meriah, dan 7.000 hektar di Gayo Lues. Perkebunan kopi yang mulai diusahakan sejak tahun 1924 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah sampai sekarang. Berdasarkan data di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Tengah, jumlah petani Kopi di Aceh Tengah 34.476 keluarga. Jika satu keluarga diasumsikan ada 4 orang, maka 137.904 orang yang di kabupate n tersebut yang menggantungkan hidupnya pada kebun kopi. Jumlah itu setara dengan hampir 90 persen total penduduk Aceh Tengah yang mencapai 149.145 jiwa (2010).

Dengan melihat data-data dan kondisi terakhir dilapangan maka tim survai Dompet Dhuafa akan mengolah dan menganilisis data tersebut untuk kemudian dituangkan dalam usulan rancangan program pengembangan kopi gayo dengan tetap berbasis pada keterlibatan komunitas. Catatan penting selama proses penggalian data di lapangan selain persoalan terkait aspek intensifikasi budidaya kopi gayo, aspek kelembagaan dan hal terkait lainnya ada juga persoalan krusial yang dihadapi para petani kopi yakni masalah harga yang tidak adil di tingkat petani. Penelusuran rantai tata niaga kopi gayo memang belum ideal dan cenderung merugikan petani. Rantainya terlalu panjang, mulai dari agen, toke, toke besar, setelah itu ke eksportir baru sampai pasar akhir. Data sementara saat ini harga kopi di tingkat petani masih terlalu rendah bahkan sangat rendah. Menurut penuturan salah satu petani kopi di Aceh tengah, harga kopi basah (segar) saat ini bisa hanya sampai Rp 3.000/Kg atau kalaupun dijadikan kopi dalam bentuk gabah harganya hanya sampai Rp 12.500/kg, harga yang jauh dari populernya kopi gayo.

Melaui usulan program pengembangan kopi gayo yang diusulkan Pertanian Sehat Indonesia nanti diharapkan Dompet Dhuafa dapat berperan nyata dalam peningkatan kesejahteraan petani di dataran tinggi gayo. Apalagi melalui momentum untuk recovery ekonomi pasca bencana alam gempa bumi di Aceh Tengah maka langkah nyata Dompet Dhuafa akan semakin kuat untuk segera terjun di tengah-tengah masyarakat Aceh yang saat ini sedang membutuhkan bantuan. Rancangan program yang diusulkan Pertanian Sehat Indonesia umumnya menerapkan tiga prinsip program yakni penguatan basis sosial, ekonomi dan ekologi pertanian yang titik sentralnya adalah komunitas dengan melalui pola pendampingan intensif. Semoga Berhasil! (Dim)
Demikian juga secara kualitas, citarasa dan aroma kopi gayo sudah sangat terkenal di dunia sehingga memiliki pasar luas di berbagai negara. Secara legalitas hukum pun, eksistensi kopi gayo juga sudah memiliki sertifikasi indikasi geografis (IG) yang disahkan pada Tanggal 28 April 2010 dengan nomor ID G 000000005. Dengan eksistensi kopi gayo yang begitu kuat apakah realitasnya telah memberikan dampak dan kesejahteraan petani kopi gayo di tingkat lapangan?Pertanyaan inilah yang kemudian menjadi isu utama dalam kegiatan survai dan need assesment tim Dompet Dhuafa selama lebih dari satu minggu di Aceh Tengah. Tim Dompet Dhuafa yang digawangi oleh Pertanian Sehat Indonesia berangkat dari Jakarta pada hari Senin (07/10/13) dan secara khusus membawa misi penggalian data perkopian di Aceh Tengah khususnya di daerah yang pada tanggal 2 Juli 2013 terkena bencana gempa bumi.

Telah kita ketahui bahwa kopi gayo adalah nama produk kopi arabika yang ditanam di Dataran Tinggi Gayo. Ada tiga kabupaten di dalamnya, Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Dengan total luasan tanam (2010) mencapai sekitar 95.500 hektar, yang terdiri atas 48.500 hektar di Aceh Tengah, 39.000 hektar di Bener Meriah, dan 7.000 hektar di Gayo Lues. Perkebunan kopi yang mulai diusahakan sejak tahun 1924 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah sampai sekarang. Berdasarkan data di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Tengah, jumlah petani Kopi di Aceh Tengah 34.476 keluarga. Jika satu keluarga diasumsikan ada 4 orang, maka 137.904 orang yang di kabupate n tersebut yang menggantungkan hidupnya pada kebun kopi. Jumlah itu setara dengan hampir 90 persen total penduduk Aceh Tengah yang mencapai 149.145 jiwa (2010).

Dengan melihat data-data dan kondisi terakhir dilapangan maka tim survai Dompet Dhuafa akan mengolah dan menganilisis data tersebut untuk kemudian dituangkan dalam usulan rancangan program pengembangan kopi gayo dengan tetap berbasis pada keterlibatan komunitas. Catatan penting selama proses penggalian data di lapangan selain persoalan terkait aspek intensifikasi budidaya kopi gayo, aspek kelembagaan dan hal terkait lainnya ada juga persoalan krusial yang dihadapi para petani kopi yakni masalah harga yang tidak adil di tingkat petani. Penelusuran rantai tata niaga kopi gayo memang belum ideal dan cenderung merugikan petani. Rantainya terlalu panjang, mulai dari agen, toke, toke besar, setelah itu ke eksportir baru sampai pasar akhir. Data sementara saat ini harga kopi di tingkat petani masih terlalu rendah bahkan sangat rendah. Menurut penuturan salah satu petani kopi di Aceh tengah, harga kopi basah (segar) saat ini bisa hanya sampai Rp 3.000/Kg atau kalaupun dijadikan kopi dalam bentuk gabah harganya hanya sampai Rp 12.500/kg, harga yang jauh dari populernya kopi gayo.

Melaui usulan program pengembangan kopi gayo yang diusulkan Pertanian Sehat Indonesia nanti diharapkan Dompet Dhuafa dapat berperan nyata dalam peningkatan kesejahteraan petani di dataran tinggi gayo. Apalagi melalui momentum untuk pemulihan ekonomi pasca bencana alam gempa bumi di Aceh Tengah maka langkah nyata Dompet Dhuafa akan semakin kuat untuk segera terjun di tengah-tengah masyarakat Aceh yang saat ini sedang membutuhkan bantuan. Rancangan program yang diusulkan Pertanian Sehat Indonesia umumnya menerapkan tiga prinsip program yakni penguatan basis sosial, ekonomi dan ekologi pertanian yang titik sentralnya adalah komunitas dengan melalui pola pendampingan intensif. Semoga Berhasil! (Dim)

3 thoughts on “Menelusuri Eksistensi Kopi Gayo dan Nasib Para Petaninya”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.