Pertanian Sehat Indonesia

Solusi Kopi tanpa Tengkulak

BAGUS SURYO

Dengan memotong rantai penjualan kopi, petani bisa langsung menjual hasil kebun mereka langsung ke konsumen, tak lagi melalui tengkulak. Sebelumnya, petani tidak mengetahui kopi terbaik. Mereka baru memahami pengolahan setelah ada pembinaan melalui sekolah lapangan.BAGUS SURYO

Dengan memotong rantai penjualan kopi, petani bisa langsung menjual hasil kebun mereka langsung ke konsumen, tak lagi melalui tengkulak. Sebelumnya, petani tidak mengetahui kopi terbaik. Mereka baru memahami pengolahan setelah ada pembinaan melalui sekolah lapangan.”

DENGAN berkemeja lengan panjang putih, ikat kepala berbentuk segitiga putih, dan kain tenun hitam bermotif cokelat, penampilannya menarik perhatian pengunjung Mal Surabaya Town Square (Sutos), Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Ditambah lagi, aroma kopi panas yang ia bawa dan edarkan ke pengunjung secara gratis.
Adalah Lodovikus Vadirman, petani kopi dari Dusun Tangkul, Desa Remdenao, Kecamatan Pocoramaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia datang ke Surabaya bersama sejumlah petani dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan dan Bajawa, NTT, guna menghadiri pertemuan tahunan bisnis petani kopi Indonesia, beberapa waktu lalu.

Ia mengajak konsumen melihat langsung proses pembuatan kopi dan cita rasa, serta teknik budi daya yang ramah lingkungan.

“Kami sengaja datang ke Surabaya untuk mengenalkan kopi manggarai, mencari pembeli langsung tanpa perantara,“ ujarnya membuka pembicaraan dengan Media Indonesia.

Kopi robusta manggarai sudah diekspor ke Eropa dan Amerika dan terkenal dengan sebutan fine coffeee.
Kualitas dan cita rasanya lebih daripada kopi arabika Toraja dan Flores.
Sayangnya, petani masih menjual hasil panen ke pasar lokal dengan harga rendah dan masih dikuasai tengkulak.
Karena itu, petani kopi jarang ada yang kaya.

“Yang kami rasakan, petani tidak ada yang kaya. Selama ini, kekayaan hanya dinikmati pedagang dan pembeli kopi,“ ujarnya seraya mengatakan salah satu kelemahan petani ialah tidak memiliki jaringan bisnis luas.

Kondisi memprihatinkan itu terjadi sebelum 2010. Kopi robusta hanya dihargai Rp12 ribu per kg dan arabika Rp17 ribu per kg. Namun, juga bisa di bawah Rp4.000 per kg bila dijual gelondongan. Padahal, harga itu tidak sebanding dengan biaya operasionalnya. Sebagai anak petani kopi, Lodovikus menyadari solusi peningkatan kapasitas melalui organisasi. Hal itu ia sampaikan satu per satu ke warga dan tokoh masyarakat. Ketua Asosiasi Petani Kopi Manggarai (Asnikom) itu getol mendorong petani untuk saling menguatkan guna memproduksi kopi green bean equivalent (GBE).

Upayanya itu ternyata mendapatkan tantangan dari para tengkulak yang menilai ia mengganggu bisnis mereka. Banyak makian dan cibiran yang ia terima saat mewujudkan upayanya itu.

“Pengalaman selama ini, petani enggan berorganisasi. SDM mereka terbatas, bersedia bergabung setelah melihat dan merasakan keberhasilan,“ ujarnya.

Pantang menyerah, ia menggandeng lembaga swadaya masyarakat (LSM) Delsos Keuskupan Ruteng dan Vredeseilanden Country Office (Veco) Indonesia, serta LSM internasional dari Belgia. Ternyata cara itu cukup ampuh dan mereka mau bergabung. Apalagi, 60% pendapatan penduduk dari kopi, selain kakao dan kayu-kayuan.
Budi daya Agar tidak tertipu, lanjutnya, petani dilatih teknik budi daya, pengolahan pascapanen, pemasaran, dan penerapan internal control system (ICS) lewat organisasi. Upaya itu untuk memutus mata rantai perdagangan guna mendapatkan keuntungan optimal dan terlepas dari tengkulak.

“Sebelumnya, petani tidak mengetahui kopi terbaik. Mereka baru memahami pengolahan setelah ada pembinaan melalui sekolah lapangan,“ ujarnya.

Pada 2010, ia mampu mengorganisasi sekitar 20 sekolah lapangan kopi yang menghasilkan 282 alumnus.
Secara berkala, ia menularkan keber hasilan mereka kepada petani lainnya agar bergabung di Asnikom.

Cerita sukses itu pun menyebar, petani yang awalnya mencibir akhirnya percaya dan ikut pelatihan. Saat ini, Asnikom telah menyentuh 1.763 petani di wilayah Manggarai dan Manggarai Timur. Selain itu, jaringan bisnis mereka pun meluas dan tidak hanya pasar lokal.

“Keberadaan Asnikom meningkatkan pendapatan, kondisi menjadi lebih baik. Kami menjual kopi untuk memenuhi pasar Jakarta dan Surabaya, juga berkomunikasi dengan pengusaha asing.“

Petani yang sudah mengikuti sekolah berhasil meningkatkan produksi panennya menjadi 600 kg per hektare (ha) per tahun yang sebelumnya 400 kg per ha. Biaya perawatannya Rp2 juta, dan pengolahan pascapanen butuh Rp4 juta sudah termasuk packing coffee green bean.

“Laba setelah dijual dalam bentuk kopi spesialti bisa mencapai Rp5.000 hingga Rp8.000 per kg,“ ungkapnya.
Organik Guna memenuhi kebutuhan pasar ekspor, petani mempertahankan teknik pertanian organik. Mereka juga menyeleksi bibit peremajaan, penyambungan tanaman, pengendalian hama dan penyakit, serta mengenali varietas unggul. Termasuk membuat zat perangsang pertumbuhan buah dan pupuk organik secara mandiri.

“Saya membina petani agar mereka bangkit, menjual kopi spesialti, bukannya dalam bentuk asalan,“ ujarnya.

Melakukan penanaman secara organik, lanjut Lodovikus, tidak terlalu sulit. Pasalnya, petani sudah terbiasa memanfaatkan bahan alami setelah sekolah lapangan. Cara membuat perangsang pertumbuhan tanaman cukup dengan mikroorganisme lokal yang diracik dari bahan beras, rebung, daun-daunan, taoge, dan tanaman hutan. Adapun perangsang buah kopi memanfaatkan buah hara dicampur mikroorganisme lokal dari beras ketan merah, kacang kedelai, dan sejumlah pucuk daun.

Penanganan pascapanen, lanjutnya, petani memisahkan kopi sesuai warnanya, merah, kuning, dan hijau. Setelah itu, pemisahan biji kopi dilakukan dengan merendam di air.

“Kopi yang tenggelam digiling menjadi kopi spesialti, itu yang kualitasnya terbagus,“ ujarnya.

“Untuk pemisahan kulit, dihindari menggunakan lesung. Cara tradisional tersebut bisa mengurangi kualitas.“

Dengan peningkatan kualitas itu, harga kopi arabika di luar lelang kini telah menyentuh Rp40 ribu per kg.
Adapun harga lelang kopi robusta US$10 atau sekitar Rp97.000 per kg, dan kopi arabika dihargai US$8,6 atau Rp83.420 per kg.

Permintaan dari berbagai daerah sudah membanjir. Tahun ini, diekspor ke Amerika dan Eropa. (M-5) [email protected]

Sumber: Media Indonesia

DENGAN berkemeja lengan panjang putih, ikat kepala berbentuk segitiga putih, dan kain tenun hitam bermotif cokelat, penampilannya menarik perhatian pengunjung Mal Surabaya Town Square (Sutos), Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Ditambah lagi, aroma kopi panas yang ia bawa dan edarkan ke pengunjung secara gratis.
Adalah Lodovikus Vadirman, petani kopi dari Dusun Tangkul, Desa Remdenao, Kecamatan Pocoramaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia datang ke Surabaya bersama sejumlah petani dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan dan Bajawa, NTT, guna menghadiri pertemuan tahunan bisnis petani kopi Indonesia, beberapa waktu lalu.

Ia mengajak konsumen melihat langsung proses pembuatan kopi dan cita rasa, serta teknik budi daya yang ramah lingkungan.

“Kami sengaja datang ke Surabaya untuk mengenalkan kopi manggarai, mencari pembeli langsung tanpa perantara,“ ujarnya membuka pembicaraan dengan Media Indonesia.

Kopi robusta manggarai sudah diekspor ke Eropa dan Amerika dan terkenal dengan sebutan fine coffeee.
Kualitas dan cita rasanya lebih daripada kopi arabika Toraja dan Flores.
Sayangnya, petani masih menjual hasil panen ke pasar lokal dengan harga rendah dan masih dikuasai tengkulak.
Karena itu, petani kopi jarang ada yang kaya.

“Yang kami rasakan, petani tidak ada yang kaya. Selama ini, kekayaan hanya dinikmati pedagang dan pembeli kopi,“ ujarnya seraya mengatakan salah satu kelemahan petani ialah tidak memiliki jaringan bisnis luas.

Kondisi memprihatinkan itu terjadi sebelum 2010. Kopi robusta hanya dihargai Rp12 ribu per kg dan arabika Rp17 ribu per kg. Namun, juga bisa di bawah Rp4.000 per kg bila dijual gelondongan. Padahal, harga itu tidak sebanding dengan biaya operasionalnya. Sebagai anak petani kopi, Lodovikus menyadari solusi peningkatan kapasitas melalui organisasi. Hal itu ia sampaikan satu per satu ke warga dan tokoh masyarakat. Ketua Asosiasi Petani Kopi Manggarai (Asnikom) itu getol mendorong petani untuk saling menguatkan guna memproduksi kopi green bean equivalent (GBE).

Upayanya itu ternyata mendapatkan tantangan dari para tengkulak yang menilai ia mengganggu bisnis mereka. Banyak makian dan cibiran yang ia terima saat mewujudkan upayanya itu.

“Pengalaman selama ini, petani enggan berorganisasi. SDM mereka terbatas, bersedia bergabung setelah melihat dan merasakan keberhasilan,“ ujarnya.

Pantang menyerah, ia menggandeng lembaga swadaya masyarakat (LSM) Delsos Keuskupan Ruteng dan Vredeseilanden Country Office (Veco) Indonesia, serta LSM internasional dari Belgia. Ternyata cara itu cukup ampuh dan mereka mau bergabung. Apalagi, 60% pendapatan penduduk dari kopi, selain kakao dan kayu-kayuan.
Budi daya Agar tidak tertipu, lanjutnya, petani dilatih teknik budi daya, pengolahan pascapanen, pemasaran, dan penerapan internal control system (ICS) lewat organisasi. Upaya itu untuk memutus mata rantai perdagangan guna mendapatkan keuntungan optimal dan terlepas dari tengkulak.

“Sebelumnya, petani tidak mengetahui kopi terbaik. Mereka baru memahami pengolahan setelah ada pembinaan melalui sekolah lapangan,“ ujarnya.

Pada 2010, ia mampu mengorganisasi sekitar 20 sekolah lapangan kopi yang menghasilkan 282 alumnus.
Secara berkala, ia menularkan keber hasilan mereka kepada petani lainnya agar bergabung di Asnikom.

Cerita sukses itu pun menyebar, petani yang awalnya mencibir akhirnya percaya dan ikut pelatihan. Saat ini, Asnikom telah menyentuh 1.763 petani di wilayah Manggarai dan Manggarai Timur. Selain itu, jaringan bisnis mereka pun meluas dan tidak hanya pasar lokal.

“Keberadaan Asnikom meningkatkan pendapatan, kondisi menjadi lebih baik. Kami menjual kopi untuk memenuhi pasar Jakarta dan Surabaya, juga berkomunikasi dengan pengusaha asing.“

Petani yang sudah mengikuti sekolah berhasil meningkatkan produksi panennya menjadi 600 kg per hektare (ha) per tahun yang sebelumnya 400 kg per ha. Biaya perawatannya Rp2 juta, dan pengolahan pascapanen butuh Rp4 juta sudah termasuk packing coffee green bean.

“Laba setelah dijual dalam bentuk kopi spesialti bisa mencapai Rp5.000 hingga Rp8.000 per kg,“ ungkapnya.
Organik Guna memenuhi kebutuhan pasar ekspor, petani mempertahankan teknik pertanian organik. Mereka juga menyeleksi bibit peremajaan, penyambungan tanaman, pengendalian hama dan penyakit, serta mengenali varietas unggul. Termasuk membuat zat perangsang pertumbuhan buah dan pupuk organik secara mandiri.

“Saya membina petani agar mereka bangkit, menjual kopi spesialti, bukannya dalam bentuk asalan,“ ujarnya.

Melakukan penanaman secara organik, lanjut Lodovikus, tidak terlalu sulit. Pasalnya, petani sudah terbiasa memanfaatkan bahan alami setelah sekolah lapangan. Cara membuat perangsang pertumbuhan tanaman cukup dengan mikroorganisme lokal yang diracik dari bahan beras, rebung, daun-daunan, taoge, dan tanaman hutan. Adapun perangsang buah kopi memanfaatkan buah hara dicampur mikroorganisme lokal dari beras ketan merah, kacang kedelai, dan sejumlah pucuk daun.

Penanganan pascapanen, lanjutnya, petani memisahkan kopi sesuai warnanya, merah, kuning, dan hijau. Setelah itu, pemisahan biji kopi dilakukan dengan merendam di air.

“Kopi yang tenggelam digiling menjadi kopi spesialti, itu yang kualitasnya terbagus,“ ujarnya.

“Untuk pemisahan kulit, dihindari menggunakan lesung. Cara tradisional tersebut bisa mengurangi kualitas.“

Dengan peningkatan kualitas itu, harga kopi arabika di luar lelang kini telah menyentuh Rp40 ribu per kg.
Adapun harga lelang kopi robusta US$10 atau sekitar Rp97.000 per kg, dan kopi arabika dihargai US$8,6 atau Rp83.420 per kg.

Permintaan dari berbagai daerah sudah membanjir. Tahun ini, diekspor ke Amerika dan Eropa. (M-5) [email protected]

Sumber: Media Indonesia

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.