MEDIA INDONESIA – INDONESIA mengalami perluasan ketimpangan kepemilikan lahan yang juga terjadi di sektor pertanian.
Kondisi itu dikhawatirkan dapat mengganggu upaya mencapai ketahanan pangan nasional.
Hal itu diungkapkan Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Menurutnya, ketimpangan tersebut terlihat dari koefisien gini kepemilikan lahan yang telah mencapai 0,6.
“Itu berarti, akses masyarakat ke lahan pertanian semakin sedikit. Petani semakin banyak yang tidak memiliki lahan,” tegasnya di Jakarta, kemarin.
Berdasarkan koefisien gini, semakin mendekati poin satu, ketimpangan semakin membesar. Adapun jika poin mendekati nol, artinya semakin mendekati pemerataan.
Lebih jauh, Dorodjatun mengatakan dengan kondisi itu target pemerintah mewujudkan swasembada pangan dan surplus beras 10 juta ton tahun ini akan semakin sulit. Alasannya, pembangunan ekonomi yang dijalankan masih bersifat parsial dan tak menyeluruh.
“Pembangunan yang menyeluruh jauh lebih bagus ketimbang parsial,” tegas Dorodjatun. Di samping ketimpangan lahan pertanian, ia menyebutkan ketimpangan juga terjadi seperti pada akses terhadap kepemilikan rumah, kesehatan, dan pendidikan.
Berdasarkan sensus Badan Pusat Pertanian, jumlah rumah tangga pertanian yang memiliki lahan sejak 2003 menyusut drastis (lihat grafik). Kondisi itu diperparah dengan susutnya lahan pertanian akibat konversi lahan. Alhasil, pengembangan pertanian dan pemenuhan pangan semakin susah terwujud.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia Johny Liano, keterbatasan lahan juga menghambat upaya meningkatkan produksi daging. Meski pemerintah berencana menambah pasokan sapi indukan, tanpa lahan memadai, hal itu tak bermanfaa banyak. “Membangun industr indukan secara teknis berbed dengan feedlot, itu membutuhkan lahan,“ ujar Johny.
Idealnya, satu sapi induka berbanding dengan lahan seluas satu hektare. Dengan begitu biaya pemeliharaan sapi bisa dipangkas.
Apabila peternak memaksakan pemeliharaan sapi di kandang Johny mengatakan biayanya akan semakin bengkak. Dalam hitungan Johny, untuk 20 ribu sapi selama proses mengandung sampai penggemukan, membutuhkan waktu 15 bulan dan biaya sekitar Rp462 miliar. (Wib/E-3)
DANIEL WESLY RUDOLF ([email protected])
Sumber: Media Indonesia