Ada rasa trenyuh ketika Adi Nur Hidayat mengisi acara rutin pembekalan bagi calon pengurus koperasi jamur An-Nur. Acara yang dilakukan setiap minggu sekali sejak awal November itu terkait dengan administrasi dan akuntansi,
Ada rasa trenyuh ketika mas Adi Nur Hidayat mengisi acara rutin pembekalan bagi calon pengurus koperasi jamur An-Nur. Acara yang dilakukan setiap minggu sekali sejak awal bulan november itu terkait dengan administrasi dan akuntansi, yang diikuti oleh empat orang anggota mitra binaan petani jamur tiram di desa jampang poncol.
Secara tidak sengaja, peserta yang mengikuti pembekalan rutin itu terdiri dari dua generasi yang berbeda, yaitu pak Senan dan Ustadz Hazbullah mewakili generasi tua serta generasi muda yang diwakili oleh Sandi dan Mahpudin.
Ada temuan yang cukup mengagetkan ketika ditelusuri lebih dalam, ternyata latar belakang pendidikan mereka juga terbelah menjadi dua gap, generasi tua lulusan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dan justru generasi yang lebih muda lulusan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Jika saja tingkat pendidikan menjadi parameter tingkat kemapanan ekonomi, maka hal ini menandakan terjadi penurunan tingkat ekonomi yang ada di desa Jampang Poncol. Anomali kalau boleh disebut, seharusnya dan bicara keumuman, pendidikan anak biasanya lebih tinggi atau minimal sama dengan pendidikan generasi tuanya. Apakah generasi muda dijampang tidak tertarik lagi melanjutkan pendidikan?
“Mas, saya dulu nangis sampai bantal saya basah, saya sedih dan kecewa karena saya tahu setelah lulus SMP saya tidak bisa melanjutkan sekolah lagi, padahal saya ingin sekali melanjutkan ke SMA, tapi saya tahu kalau orang tua saya tidak mampu membiayai lagi sekolah saya..” demikian curhatan yang disampaikan Sandi ketika penulis menanyakan latar belakang pendidikannya yang “hanya” lulusan SMP. Bukan faktor kemalasan dan kenakalan layaknya remaja seusianya saat itu, tapi karena faktor ketidak mampuan orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya. Sama dengan Mahpudin, dua adiknya yang masih seusia anak SMA pun hanya lulusan SMP, bukan karena tidak mau, tapi sekali lagi faktor ekonomi orang tua.
Dengan adanya gap pendidikan seperti itu, mas Adi dengan sabar dan penuh pengertian menjelaskan secara perlahan dan menyesuaikan bahasa yang terkesan “akademis” dengan bahasa yang merakyat, hasilnya? Cukup mengagumkan, dengan semangat belajar yang cukup tinggi dan kesungguhan yang luar biasa, materi administrasi dan akuntansi bisa berjalan dengan baik, dan dapat diikuti oleh mitra, bahkan diagendakan bisa dilakukan secara rutin dan bertahap setiap minggunya.
Alhamdulillah sudah tiga kali pertemuan pelatihan administrasi dan akuntansi ini berjalan, dan selalu dihadiri dengan penuh semangat oleh mitra, tidak berhenti sampai disitu, para mitra juga berusaha untuk mendalami keterampilan menggunakan komputer yang dilakukan di Posko Pertemuan Petani, siapa saja anggota mitra bisa belajar komputer yang penting ada kemauan.
Harapan penulis, semoga tahun 2013, mitra petani jamur secara mandiri mampu menjalankan usahanya secara professional, amanah dan kompak. Pendidikan formal yang rendah tidak membatasi semangat untuk mencari ilmu diluar bangku sekolah,bahkan menjadi pemicu semangat untuk selalu merasa kurang dan haus akan ilmu, tidakseperti kebanyakan orang yang akan berhenti belajar ketika selesai pendidikan formalnya dan merasa cukup dan berhenti untuk belajar. [YUS]
yang diikuti oleh empat orang anggota mitra binaan petani jamur tiram di Desa Jampang Poncol, Kecamatan Kemang, Bogor.
Secara tidak sengaja, peserta yang mengikuti pembekalan rutin itu terdiri dari dua generasi yang berbeda, yaitu Senan dan Ustadz Hazbullah mewakili generasi tua serta generasi muda yang diwakili oleh Sandi dan Mahpudin.
Ada temuan yang cukup mengagetkan ketika ditelusuri lebih dalam, ternyata latar belakang pendidikan mereka juga terbelah menjadi dua gap, generasi tua lulusan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dan justru generasi yang lebih muda lulusan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Jika saja tingkat pendidikan menjadi parameter tingkat kemapanan ekonomi, maka hal ini menandakan terjadi penurunan tingkat ekonomi yang ada di Desa Jampang Poncol. Anomali kalau boleh disebut, seharusnya dan bicara keumuman, pendidikan anak biasanya lebih tinggi atau minimal sama dengan pendidikan generasi tuanya. Apakah generasi muda dijampang tidak tertarik lagi melanjutkan pendidikan?
“Mas, saya dulu nangis sampai bantal saya basah, saya sedih dan kecewa karena saya tahu setelah lulus SMP saya tidak bisa melanjutkan sekolah lagi, padahal saya ingin sekali melanjutkan ke SMA, tapi saya tahu kalau orang tua saya tidak mampu membiayai lagi sekolah saya..” demikian curhatan yang disampaikan Sandi ketika penulis menanyakan latar belakang pendidikannya yang “hanya” lulusan SMP. Bukan faktor kemalasan dan kenakalan layaknya remaja seusianya saat itu, tapi karena faktor ketidak mampuan orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya. Sama dengan Mahpudin, dua adiknya yang masih seusia anak SMA pun hanya lulusan SMP, bukan karena tidak mau, tapi sekali lagi faktor ekonomi orang tua.
Dengan adanya gap pendidikan seperti itu, Adi dengan sabar dan penuh pengertian menjelaskan secara perlahan dan menyesuaikan bahasa yang terkesan “akademis” dengan bahasa yang merakyat, hasilnya? Cukup mengagumkan, dengan semangat belajar yang cukup tinggi dan kesungguhan yang luar biasa, materi administrasi dan akuntansi bisa berjalan dengan baik, dan dapat diikuti oleh mitra, bahkan diagendakan bisa dilakukan secara rutin dan bertahap setiap minggunya.
Alhamdulillah sudah tiga kali pertemuan pelatihan administrasi dan akuntansi ini berjalan, dan selalu dihadiri dengan penuh semangat oleh mitra, tidak berhenti sampai disitu, para mitra juga berusaha untuk mendalami keterampilan menggunakan komputer yang dilakukan di Posko Pertemuan Petani, siapa saja anggota mitra bisa belajar komputer yang penting ada kemauan.
Harapan penulis, semoga tahun 2013, mitra petani jamur secara mandiri mampu menjalankan usahanya secara professional, amanah dan kompak. Pendidikan formal yang rendah tidak membatasi semangat untuk mencari ilmu diluar bangku sekolah, bahkan menjadi pemicu semangat untuk selalu merasa kurang dan haus akan ilmu, tidak seperti kebanyakan orang yang akan berhenti belajar ketika selesai pendidikan formalnya dan merasa cukup dan berhenti untuk belajar. [YUS]
Mas Adhi emang ok…..