Tahukah Anda bahwa beras yang dikonsumsi miliaran penduduk dunia ternyata tidak memiliki kandungan nutrisi yang cukup selain karbohidrat?
Tahukah Anda bahwa beras yang dikonsumsi miliaran penduduk dunia ternyata tidak memiliki kandungan nutrisi yang cukup selain karbohidrat? Penelitian menunjukkan bahwa kandungan vitamin A maupun zat besi di dalam beras, jauh di bawah tingkat kebutuhan tubuh manusia atau malah hampir tidak ada sama sekali.
Beberapa tahun belakangan ini sedang dikembangkan varietas beras baru yang memiliki banyak kandungan beta karoten, yang bisa diolah tubuh menjadi vitamin A, dan satu lagi varietas yang tinggi tingkat kandungan zat besi-nya, di International Rice Research Institute (IRRI), Filipina. Jenis yang pertama malah sudah dikembangkan dan ditanam, meskipun belum masuk tahap produksi massal, karena menunggu hasil uji konsumsi yang aman dan izin dari badan pangan maupun pertanian dunia (FAO) yang pasti memakan waktu cukup lama.
“Kita namakan varietas dengan beta karoten ini golden rice, karena warna bijinya yang kuning tua,” kata Dr Parminder Virk, peneliti jenis beras baru ini, di pusat penelitian IRRI di Los Banos, sekitar dua jam berkendara dari Manila, Selasa (27/3). Tekstur beras ini tidak ada bedanya dengan jenis yang lain, kecuali warnanya yang kuning tua menyolok, mirip beras yang diberi pewarna atau kunyit untuk acara adat perkawinan atau kelahiran. Bedanya, warna kuning tua itu datang dari alam, atau katakanlah dari hasil rekayasa genetik ilmuwan.
Virk menjanjikan bahwa kalau izin legal untuk distribusi dan standar keselamatan pangan sudah dipenuhi, beras emas ini akan dijual bebas dengan harga standar sama dengan jenis beras yang umum. “Berbeda dengan beras organik atau beras merah yang dijual dengan harga lebih mahal, tidak akan ada harga khusus untuk golden rice,” tegasnya. Petani yang akan menanam beras ini, menurut Virk pula, nantinya juga bisa mendapatkan bibitnya dengan harga wajar. “Tidak akan dikenakan ongkos tehnologi untuk varietas ini,” katanya lagi.
Golden rice dikembangkan dengan teknik modifikasi genetika, dengan menggabungkan gen maize dengan mikroorganisme tanah yang bisa menghasilkan beta karoten pada biji beras. Varietas ini pertama kali ditemukan oleh Profesor Ingo Potrykus ketika masih menjabat di Federal Institute of Technology, Swiss, dan Profesor Peter Beyer dari Universitas Freiburg, Jerman.
“Saat ini tipe golden rice baru diperuntukkan bagi Filipina dan Bangladesh saja, namun akan diproduksi global jika sukses,” kata Virk. Menurut hasil penelitian, mengkonsumsi satu mangkok nasi dari golden rice bisa mencukupi setengah dari kebutuhan orang dewasa akan vitamin A.
Sementara itu, varietas beras yang mengandung zat besi tinggi, dikembangkan dengan cara menambahkan gen dari kedelai. Dr Inez Hortense Slamet-Loedin, peneliti IRRI asal Indonesia, mengatakan bahwa jenis beras yang umum sangat kecil kandungan zat besinya.
Dikatakannya, di Asia Tenggara, di mana sebagian besar rakyatnya mengkonsumsi nasi setiap hari, banyak orang mengalami kekurangan zat besi, dan hal itu bisa berdampak buruk kepada anak-anak, ibu hamil maupun ibu menyusui. “Karena itulah dikembangkan varietas beras yang memiliki kandungan zat besi tinggi dengan modifikasi genetika,” kata Inez.
BeritaSatu
beritasatu.com/berita-utama/39316-golden-rice-upaya-menciptakan-beras-bervitamin.html
Penelitian menunjukkan bahwa kandungan vitamin A maupun zat besi di dalam beras, jauh di bawah tingkat kebutuhan tubuh manusia atau malah hampir tidak ada sama sekali.
Beberapa tahun belakangan ini sedang dikembangkan varietas beras baru yang memiliki banyak kandungan beta karoten, yang bisa diolah tubuh menjadi vitamin A, dan satu lagi varietas yang tinggi tingkat kandungan zat besi-nya, di International Rice Research Institute (IRRI), Filipina. Jenis yang pertama malah sudah dikembangkan dan ditanam, meskipun belum masuk tahap produksi massal, karena menunggu hasil uji konsumsi yang aman dan izin dari badan pangan maupun pertanian dunia (FAO) yang pasti memakan waktu cukup lama.
“Kita namakan varietas dengan beta karoten ini golden rice, karena warna bijinya yang kuning tua,” kata Dr Parminder Virk, peneliti jenis beras baru ini, di pusat penelitian IRRI di Los Banos, sekitar dua jam berkendara dari Manila, Selasa (27/3). Tekstur beras ini tidak ada bedanya dengan jenis yang lain, kecuali warnanya yang kuning tua menyolok, mirip beras yang diberi pewarna atau kunyit untuk acara adat perkawinan atau kelahiran. Bedanya, warna kuning tua itu datang dari alam, atau katakanlah dari hasil rekayasa genetik ilmuwan.
Virk menjanjikan bahwa kalau izin legal untuk distribusi dan standar keselamatan pangan sudah dipenuhi, beras emas ini akan dijual bebas dengan harga standar sama dengan jenis beras yang umum. “Berbeda dengan beras organik atau beras merah yang dijual dengan harga lebih mahal, tidak akan ada harga khusus untuk golden rice,” tegasnya. Petani yang akan menanam beras ini, menurut Virk pula, nantinya juga bisa mendapatkan bibitnya dengan harga wajar. “Tidak akan dikenakan ongkos tehnologi untuk varietas ini,” katanya lagi.
Golden rice dikembangkan dengan teknik modifikasi genetika, dengan menggabungkan gen maize dengan mikroorganisme tanah yang bisa menghasilkan beta karoten pada biji beras. Varietas ini pertama kali ditemukan oleh Profesor Ingo Potrykus ketika masih menjabat di Federal Institute of Technology, Swiss, dan Profesor Peter Beyer dari Universitas Freiburg, Jerman.
“Saat ini tipe golden rice baru diperuntukkan bagi Filipina dan Bangladesh saja, namun akan diproduksi global jika sukses,” kata Virk. Menurut hasil penelitian, mengkonsumsi satu mangkok nasi dari golden rice bisa mencukupi setengah dari kebutuhan orang dewasa akan vitamin A.
Sementara itu, varietas beras yang mengandung zat besi tinggi, dikembangkan dengan cara menambahkan gen dari kedelai. Dr Inez Hortense Slamet-Loedin, peneliti IRRI asal Indonesia, mengatakan bahwa jenis beras yang umum sangat kecil kandungan zat besinya.
Dikatakannya, di Asia Tenggara, di mana sebagian besar rakyatnya mengkonsumsi nasi setiap hari, banyak orang mengalami kekurangan zat besi, dan hal itu bisa berdampak buruk kepada anak-anak, ibu hamil maupun ibu menyusui. “Karena itulah dikembangkan varietas beras yang memiliki kandungan zat besi tinggi dengan modifikasi genetika,” kata Inez.
Sumber: BeritaSatu.com