JAKARTA – Pemerintah diwakili Kementerian Perindustrian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan dan dari pihak pelaku usaha kopi yang diwakili oleh Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI), Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI), serta Asosiasi Kopi Luwak Indonesia (AKLI). Mencanangkan Tanggal 1 Oktober di tetapkan sebagai hari kopi International.
Gerakan Hari Kopi International (International Coffee Day) bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kopi nusantara serta mempromosikan peningkatan konsumsi di dalam negeri dan peningkatan ekspor produk kopi. Di harapkan pencanangan ini dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh rantai nilai perkopian Indonesia dari petani, industri sampai dengan penyedia jasa retail kopi. Demikian di sampaikan oleh menteri perindustrian Saleh Husin dalam sambutannya di acara tersebut.
Kopi yang disajikan di Kemenperin berasal dari berbagai daerah dan produsen kopi olahan dalam negeri, antara lain Sumatera Arabica Gayo Coffee, Sumatera Arabica Solok Surian Coffee, Sumatera Arabica Lintong Coffee, Sumatera IndoArabika Mangkuraja Coffee, West java Arabica Manglayang Coffee, Java Arabica Kayumas Estate Coffee, Java Arabica Blawan Estate Coffee, Java Arabica Pancur-Angkrek Coffee, Java Arabica Sumbing-Sindoro Coffee, Bali Arabica Kintamani Coffee, Flores Arabica Bajawa Coffee, Sumatera Robusta Bengkulu ‘Kaba Mountain’ coffee, Java Robusta Bangelan Estate, Arabica Papua Wamena, dan berbagai macam kopi siap saji.
Dalam kegiatan tersebut, ada sesi dialog terbuka antara pihak pemerintah yang diwakili oleh kementerian perindustrian, kementerian pertanian (tidak bisa hadir karena ada kegiatan dengan komisi IV DPR), Asosiasi eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) yang diwakili oleh Saein dan Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI /SCAI).
Dalam sesi tanya jawab, petani kopi dari Bogor mengeluhkan rendahnya harga jual kopi arabica yang mereka jual yaitu Rp.23.000/ kg. Menanggapi hal tersebut, Saein menyatakan bahwa harga pasar produk arabica Bogor senilai Rp 43.000/kg, mengingat pasar kopi terbesar ada di Jakarta dan Bandung, ada kemungkinan petani ersebut ditipu pembeli.
Selain masalah harga kopi, isu kopi luwak juga menjadi pembahasan, di skala international terdapat “black campaign” terkait cara petani memperoleh kopi luwak dari hewan yang luwak yang terkesan ada unsur pemaksaan. Mengenai hal ini pembicara mengusulkan ada kajian yang sifatnya akademis, yaitu dibuat penangkaran luwak kemudian dilakukan pengamatan yang mendalam terkait kehidupan luwak, karena isu pemaksaan luwak untuk mengkonsumsi kopi juga tidak dapat dibuktiknya, faktanya petani juga tidak bisa memaksa luwak untuk memakan kopi sesuai dengan yang diinginkan petani.
Selain itu ada peserta yang menyoroti lemahnya branding dan kemasan yang dilakukan oleh peserta UKM ketika mengikuti pameran di luar negeri. Contoh kasusnya ketika pameran di Singapura, produk UKM dari Indonesia tidak laku, kemudian dibeli oleh pengusaha dari Singapura, dibuat kemasan yang bagus dan di beri tulisan made in Singapura, produk tersebut menjadi sangat laku. Menangapi hal tersebut dari pihak kementerian perindustrian mengakui jika orientasi pelaku UKM ketika mengikuti pameran masih sebatas jualan retail, balik modal, bukan membuat jaringan untuk jangka panjang.
Menjelang berakhirnya acara tersebut, ada seorang peserta pengusaha industri kreatif yang mengembangkan teh daun kopi. Permintaan produk tersebut masih cukup tinggi, harga pembelian satu kontainer Rp 35.000.000, teh daun kopi bisa menjadi alternatif pendapatan tambahan bagi petani kopi pada saat menunggu kopi mereka berbuah.