Brebes Selatan – Dalam upaya peningkatan kapasitas dan kemampuan pendamping dalam membina masyarakat, pendamping harus memiliki kemampuan dalam memecahkan berbagai macam masalah yang dihadapi oleh mitra binaan.
Persoalan yang dihadapi oleh komunitas dampingan boleh jadi ada yang sama dan boleh jadi ada yang berbeda antar satu wilayah dengan wilayah yang lain. Karenanya dalam upgrading kali ini yang berlangsung selama satu minggu (12 – 19 Juli 2012) semua peserta ditugaskan untuk melakukan studi kasus ke daerah pendampingan Pertanian Sehat Indonesia (PSI) yang sudah exiting.
Tujuan diadakannya studi kasus tersebut kata Casdimin selaku manager Program PSI adalah untuk menginvestigasi kasus dilapangan, menyelesaikan masalah yang didapatkan serta merepleksikan masalah tersebut pada komunitas yang sedang didampingi saat ini, “Kita mengharap temuan teman-teman di lapangan menjadi cermin buat kita di wilayah masing-masing, ini adalah salah satu pendekatan belajar bagi orang dewasa”, jelasnya.
Berbekal surat tugas, pada 13 juli 2012 peserta berangkat ke lokasi. Saya sendiri mendapat tugas di Desa Wanoja, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes. Tidak banyak yang saya ketahui tentang desa tersebut karena memang ini adalah daerah yang baru saya masuki, informasi awal yang saya dapatkan sebelumnya bahwa desa tersebut cuacanya dingin, berada di balik gunung dan hanya bisa dicapai dengan menaklukkan ketinggian gunung Lio terlebih dahulu.
Tepat pukul 20.00 saya tiba di posko program. Sebelum istirahat melepas lelah, saya dan Oco selaku kader program di Desa Wanoja menyusun rencana untuk aktifitas esok harinya. Kami mengagendakan untuk silaturahim ke rumah pengurus, pengambilan data primer, melihat lahan pertanian, melihat usaha-usaha yang berjalan dan diskusi bersama pengurus.
Program Pemberdayan Pertanian Sehat (P3S) di desa Wanoja ini telah dilepas enam bulan yang lalu. Sejak saat itu pengurus koperasi deng segala sumber daya yang dimiliki telah berupaya menjalankan koperasi meski tanpa pendampingan langsung dari PSI lagi. Menjalankan koperasi ternyata bukan hal yang mudah, banyak hal yang harus dibenahi misalnya menjaga kekompakan kelompok, mempertahankan penerapan teknologi pertanian sehat, memajukan usaha, pembenahan administrasi dan lain sebagainya.
Dari hasil investigasi di lapangan, ada yang sudah baik dan perlu dipertahankan dan ditingkatkan dan ada pula yang masih kurang yang perlu dibenahi. Hal-hal yang menggembirakan adalah semakin meluasnya penerapan teknologi pertanian sehat, berkembangnya modal usaha, adanya lembaga koperasi yang sudah berbadan hukum.
Sdangkan hal-hal yang masih kurang dan perlu dibenahi adalah kekompakan anggota yang mengalami penurunan, kinerja pengurus masih rendah, keterbatasan sumber bahan baku kompos, kurang efektifnya pengalokasian dan kurangnya jaringan marketing dan kerjasama serta belum rapihnya administrasi keuangan.
Semakin meluasnya kemauan masyarakat untuk menerapkan teknologi pertanian sehat, teknologi diadopsi bukan bukan hanya diadopsi oleh internal anggota tapi juga oleh masyarakat di luar anggota. Ketua Gapoktan Tali Asih Rosidin mengatakan, “Saat ini kelompok binaan PSI ini telah memasyartakat, banyak orang diluar anggota yang juga menerapkan teknologi yang kita pake, misalnya benih, dulu kita tabur benih 15 kilo sekarang tinggal 3.5 kilo per 100 bata”, jelasnya.
Masih menurut Rosidin mantan Sekdes era tahun 90-an, “Akhir-akhir ini ada sebagian anggota dan kelompok yang mengalami gejala “sulia” (kurang semangat, bahasa Sunda) hal tersebut ditandai dengan kurangnya yang hadir dalam rapat.” Melihat kondisi tersebut, pengurus Gapoktan sudah membahas langkah-langkah penyelesaian masalah tersebut yaitu dengan mendatangi rapat-rapat kelompok tani untuk membangkitkan kembali semangat anggota.
Sementara di bidang usaha-usaha koperasi, disampaikan oleh Sujana selaku ketua koperasi, “Saat ini koperasi telah menjalankan usaha-usaha seperti produksi pupuk kompos, produksi beras sehat SAE, jual beli gabah, dan jual beli pupuk kimia.”
Menjalankan usaha-usaha tersebut diakui tidak gampang ada beberapa kendala di antaranya kurangnya bahan baku untuk produksi pupuk kompos, tidak adanya akses pasar untuk penjualan beras SAE sehingga modal tertampung di barang (gabah) yang nilainya sekitar 50 juta, kurangnya modal untuk menunjang pengadaan kebutuhan usaha lainnya.
Menyikapi kurangnya bahan baku produksi kompos Sujana yang juga salah satu ketua kelompok produsen pupuk kompos berencana mencari bahan baku keluar desa. “Kita di sini masih kekurangan bahan baku, kami harus mencari bahan baku ke desa Pasir panjang, disamping itu kita juga sedang mencari solusi untuk pengadaan ternak di desa tapi saat ini belum ketemu”, jelasnya.
Data dan informasi yang didapatkan dibahas dalam sesi focus group discussion yang dilaksanakan pada 16 Juli 2012 yang melibatkan investigator, kader lokal dan manajemen PSI. Semoga apa yang didapatkan di lapangan dalam studi kasus ini dapat benar-benar menjadi cerminan untuk melakukan perbaikan di lokasi eksiting serta menjadi inspirasi dan antisipasi pada program klaster Mandiri yang sedang berjalan saat ini. [zhule]