“Petani ibarat berjalan di atas air, tidak maju tapi hanya sekedar mempertahankan agar tidak tenggelam” (Cfifford Geertz, 1976)
Kedaulatan pangan didefinisikan oleh organisasi buruh tani dan petani dunia, La via Campesina sebagai hak sebuah negara dan petani untuk menentukan kebijakan pangannya dengan memprioritaskan produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, menjamin ketersediaan tanah subur, air, benih, termasuk pembiayaan untuk para buruh tani dan petani kecil serta melarang adanya praktek perdagangan pangan dengan cara dumping.
Beranjak dari definisi tersebut, maka bicara kedaulatan pangan tak lepas dari membicarakan petani. Tak ada kedaulatan pangan kalau tak ada petani. Tak ada kedaulatan pangan kalau nasib petani tetap terpinggirkan.
Hari ini, siapa yang mau menjadi petani? Bekerja di sektor pertaniaan sangatlah tidak menjanjikan.Dalam amatan saya, ada dua kategori yang menyebabkan seseorang memilih menjadi petani. Pertama, karena tidak ada pilihan lain selain menjadi petani; kedua karena “kegilaan” atau kecintaan yang luar biasa kepada dunia pertanian. Kategori pertama, sebagian besar adalah buruh tani penggarap sawah atau kebun, yang mau tidak mau terpaksa menjadi petani karena hanya itulah keahliannya yang juga diwarisi secara turun temurun. Sebagian besar petani jenis ini adalah buruh tani/penggarap. Petani kategori ini juga seringnya lebih bercita-cita agar anak turunnya tidak mewarisi menjadi dirinya karena akan miskin seperti dirinya.
Petani kategori kedua , adalah memang orang yang mempunyai kecintaan, kemampuan dan kemauan menjadi petani. Biasanya mereka berlatar belakang pendidikan yang cukup dan bermental wirausaha yang kuat. Karena meskipun sering tidak bisa mendapatkan hasil optimal dari hasil pertaniaannya, tetapi mereka tetap istiqomah menggeluti dunia pertanian. Masalahnya petani kategori kedua ini sangatlah sedikit di tanah air kita ini.
Pemerintah mendengung-dengungkan untuk bisa mencapai swasembada pangan. Tapi nasib petani setali tiga uang dengan nasib buruh migran yang selalu didengung-dengungkan menjadi pahlawan devisa. Hampir tiada penghargaan dan kebijakan sepadan yang diberikan untuk mendukung petani yang menjadi ujung tombak tercapainya kedaulatan pangan.
Permasalahan lahan sempit, tingginya biaya pertanian, permodalan, kemudian harga produk pertanian yang tidak terjamin dan yang sangat menyakitkan, sering ‘terhantam” kebijakan impor pangan oleh pemerintah selalu berulang .
Adalah data, bahwa petani adalah pihak yang paling banyak menerima beras Raskin. Ini juga terjadi di komunitas petani mitra Dompet Dhuafa yang sering saya jumpai ketika masih berkecimpung sebagai direktur program. Meski mereka menanam beras kualitas nomor 1, tapi terpaksa mereka tidak bisa menikmati hasil produksinya sendiri. Beras hasil tanamnya bisa dijual dengan harga 8 sampai 9 ribu di pasaran, tapi mereka terpaksa makan beras impor Raskin dengan harga 2 ribu rupiah. Sebuah ironi.
Lalu, kontribusi apa yang bisa sama-sama kita berikan untuk petani kita? Bila kita masih ingin bisa makan nasi, sayur mayur, lauk pauk dan buah-buahan dari negeri sendiri, maka marilah kita sering-sering membeli produk mereka. Jangan terkecoh dengan mulusnya kulit ranum buah-buahan impor, atau sekedar murahnya sekerat daging. Marilah sama-sama kita berbuat kebajikan. Kebajikan pemerintah adalah membuat kebijakan yang bisa membuat petani sejahtera, bisa jadi kebajikan terkecil kita adalah dengan berusaha tetap membeli produk petani kita. Sambil terus menyerukan suara agar nasib petani diperhatikan.
Semoga anak cucu kita hingga berpuluh-puluh tahun lagi masih akan tetap bisa merasakan pulennya beras cianjur, manisnya jeruk medan, legitnya durian petruk, ranumnya mangga indramayu, atau pun gurihnya lele sangkuriang serta produk-produk “ndeso” lainnya yang kita banggakan. Jangan sampai mereka hanya akan kenal produk-produk dari asing, yang makin merajalela dan terhidang sejak matahari terbit hingga mata terpejam. Jangan sampai terjadi semua makanan yang kita makan adalah makanan yang bahannya kiriman dari negeri orang. Karena bila demikian, maka sebenarnyalah kita sedang kembali kepada masa penjajahan seperti yang dikatakan Hendry Kissinger: Control oil and you control the nations, Control food and you control the people”. Naudzubillah.(Rini Suprihartanti).