Tanpa Luwak, Kopi Luwak dari IPB Lebih Sehat
JAKARTA – Penamaan kopi luwak bukan tanpa alasan. Enzim pencernaan luwak memiliki andil besar dalam menghasilkan kualitas biji kopi tersebut. Nah, bagaimana jadinya jika kualitas kopi luwak tetap sama namun tanpa bantuan sang luwak?
Tidak percaya? Inovasi itu yang berhasil dibuktikan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Erliza Noor. Dia berhasil memproduksi kopi luwak tanpa hewan luwak tapi menggantinya dengan proses enzimatis.
Hal itu dilakukan Erliza mengingat beberapa kelemahan yang dialami petani kopi jika harus melakukan budidaya luwak. Salah satunya ialah mahalnya biaya produksi karena di luar musim panen kopi, luwak tetap memerlukan biaya pakan. Selain itu, budidaya luwak juga dapat mengancam kelestariannya di alam.
“Dari segi konsumen, persepsi kopi sebagai hasil dari feses luwak menimbulkan keengganan untuk mengkonsumsi kopi luwak. Oleh karena itu, pembuatan kopi secara enzimatis menggunakan mikroba asal luwak menjadi alternatif proses produksi tanpa mengurangi mutu dan cita rasa kopi luwak,” ujar Erliza, seperti dinukil dari siaran pers IPB yang diterima Okezone, Kamis (13/3/2014).
Dia menjelaskan, teknologi produksi kopi enzimatis merupakan suatu inovasi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi kopi luwak secara alami yang dilakukan tanpa menggunakan hewan luwak. Teknologi enzimatis melibatkan peranan bakteri selulolitik (penghancur sel), proteolitik (penghancur protein), dan xilanolitik yang diperoleh dari hasil isolasi dan seleksi feses luwak.
“Teknologi ini mengadaptasi kondisi fermentasi biji kopi di dalam pencernaan hewan luwak. Teknik ini dipilih karena identik dengan proses terbentuknya kopi luwak di mana luwak memakan kulit kopi dan mengeluarkan biji dalam feses,” paparnya.
Pada rekayasa proses fermentasi padat ini, kata Erliza, kulit kopi dijadikan media bagi pertumbuhan mikroorganisme. Pendegradasian atau penghancuran senyawa kimia oleh mikroorganisme kulit kopi akan menghasilkan enzim yang berperan untuk reaksi enzimatis dan merubah komponen kimia biji kopi.
Dari hasil isolasi, dipilih bakteri dari ketiga kelompok tersebut yang memiliki aktivitas enzim tertinggi. Kemudian diperoleh bakteri Stenotropomonas sp MH34 (bakteri xilanolitik), Proteus penneri (bakteri selulolitik), dan Bacillus aerophilus (bakteri proteolitik) untuk digunakan pada fermentasi padat kopi.
“Rekayasa proses mencakup perlakuan inokulum secara tunggal (satu jenis bakteri) maupun kombinasi (dua dan tiga jenis bakteri), kondisi fermentasi (waktu dan suhu) serta rasio inokulum. Rekayasa proses produksi kopi luwak secara enzimatis ini diharapkan dapat menghasilkan kopi setara atau lebih baik dari kopi luwak,” imbuh Erliza.
Tidak hanya itu, dari segi nutrisi kopi yang dihasilkan menunjukkan kenaikan kandungan asam-asam yang baik untuk kesehatan seperti asam laktat, butirat, dan askorbat. Sementara asam oksalat yang membahayakan tubuh dihasilkan lebih rendah.
“Teknologi ini mampu meningkatkan kualitas kopi dengan penurunan kadar kafein kopi hingga 69 persen dan kandungan senyawa asam organik yaitu asam butirat, laktat, askorbat dan oksalat yang lebih aman bagi kesehatan. Ini bisa dijadikan alternatif produksi kopi luwak konvensional yang relatif lebih mahal,” ungkapnya.
Selain aman untuk kesehatan, tentu saja produksi kopi besutan Erliza memiliki biaya produksinya lebih murah dibanding pemeliharaan luwak. Dengan demikian, kelestarian luwak dapat terjaga karena dalam penangkaran luwak tidak dapat bereproduksi.
“Dan dari segi konsumen produk ini juga mencegah kengganan konsumen untuk menikmati kopi luwak yang terkesan tidak higienis karena berasal dari kotoran hewan luwak,” tutup Erliza. (rfa)
Sumber: Okezone
Foto: Reuters