Pertanian Kita Masih Dianaktirikan
Upaya Pemerintah dalam melakukan swasembada pangan terlihat tidak serius dan tidak konsisten. Sebab lewat kementerian perdagangan, pemerintah akan mengimpor beras dari Kamboja sebanyak 100 ribu ton per tahun.
Upaya Pemerintah dalam melakukan swasembada pangan terlihat tidak serius dan tidak konsisten. Sebab lewat kementerian perdagangan, pemerintah akan mengimpor beras dari Kamboja sebanyak 100 ribu ton per tahun. Hal ini sudah tertuang dalam Nota Kesepahaman impor beras 100.000 ton antara Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan dengan Menteri Perdagangan Kamboja Cham Prasidh pada pertemuan para Menteri Ekonomi se-ASEAN ke 44. Menurutnya, impor beras 100 ribu ton per tahun ini sebagai langkah untuk memenuhi konsumsi beras dalam negeri, serta sebagai antisipasi jika terjadi cuaca buruk yang bisa berdampak pada pertanian Indonesia (kompas.com, 31/8/2012).
Hal ini tentu saja menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, pemerintah pernah mengatakan bahwa tidak akan ada impor beras dalam waktu dekat, namun kenyataanya akan kembali mengimpor beras. Tentunya, dengan impor beras ini akan menyebabkan harga beras lokal turun dan para petani dalam negeri yang dirugikan. Motivasi petani menurun dan akhirnya produksi beras menurun.
Swasembada pangan dengan target surplus 10 juta ton beras pada 2014 yang sering di gembor-gemborkan pemerintah selama ini dirasa hanya sebatas abang-abang lambe (istilah jawa: hanya bicara saja). Dalam pencapaian target tersebut seharusnya pemerintah bekerja keras untuk mendorong dan memfasilitasi para petani agar produksi beras dalam negeri meningkat, bukan malah melakukan cara praktis, manja, lebay dan sifatnya jangka pendek seperti impor beras ini.
Memang beginilah nasib pertanian kita, masih di “anak tiri” kan. Sisi lain berharap lebih dari sektor pertanian, disisi lain pemerintah tidak pernah serius mau memikirkan kondisi pertanian.
Beberapa hal pokok yang menjadi permasalahan pertanian kita yaitu kualitas sumber daya manusia (SDM) petani yang sangat rendah, bisa kita lihat petani kita sebagian besar hanya lulusan SD (Sekolah Dasar). Disamping itu pemerintah juga belum menunjukan ittikad baiknya untuk berpihak dan mendukung sepenuhnya untuk kemajuan sistem pertanian kita khususnya dalam sistem tataniaga. Hal ini terlihat dengan bagaimana impor beras masih menjadi pilihan utama yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, seolah-olah pemerintah enggan untuk mau berpikir sedikit saja agar dapat meningkatkan produktivitas pertanian kita dengan kualitas yang baik tentunya dengan adanya keberpihakan kepada petani (dalam hal peningkatan kualitas SDM, perbaikan infrastruktur pertanian/irigasi dan penggunaan teknologi), sehingga mampu menciptakan kesejahteraan petani kita.
Jika kondisinya seperti ini terus berlanjut pertanian kita suatu saat akan hancur, petani kita akan pindah profesi entah menjadi kuli bangunan atau yang lainnya karena biaya input pertanian (benih, pupuk, pestisida dan lainnya) yang mahal, hasil produksi tidak meningkat dan harga jual produk yang rendah. Kita selamanya akan bergantung terus pada beras impor dengan harga yang telah di tentukan oleh mereka.
Yang dibutuhkan petani sebenarnya sudah jelas yaitu peningkatan kualitas
SDM petani melalui upaya pendampingan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan, peningkatan produktivitas (alih teknologi), perlindungan harga produk lokal, pembukaan pangsa pasar yang lebih menguntungkan dan yang paling penting pemerintah harus peka terhadap kondisi pertanian sekarang supaya tidak salah menentukan kebijakan.
Akhirnya, sudah saatnya kita semua bersatu untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang mandiri, tidak bergantung pada produk luar negeri yang suatu saat akan menjajah kita sendiri. Tentunya dengan memperhatikan pertanian kita secara menyeluruh. (suara petani: imam)
Hal ini sudah tertuang dalam Nota Kesepahaman impor beras 100.000 ton antara Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan dengan Menteri Perdagangan Kamboja Cham Prasidh pada pertemuan para Menteri Ekonomi se-ASEAN ke-44. Menurutnya, impor beras 100 ribu ton per tahun ini sebagai langkah untuk memenuhi konsumsi beras dalam negeri, serta sebagai antisipasi jika terjadi cuaca buruk yang bisa berdampak pada pertanian Indonesia (kompas.com, 31/8/2012).
Hal ini tentu saja menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, pemerintah pernah mengatakan bahwa tidak akan ada impor beras dalam waktu dekat, namun kenyataanya akan kembali mengimpor beras. Tentunya, dengan impor beras ini akan menyebabkan harga beras lokal turun dan para petani dalam negeri yang dirugikan. Motivasi petani menurun dan akhirnya produksi beras menurun.
Swasembada pangan dengan target surplus 10 juta ton beras pada 2014 yang sering di gembor-gemborkan pemerintah selama ini dirasa hanya sebatas abang-abang lambe (istilah jawa: hanya bicara saja). Dalam pencapaian target tersebut seharusnya pemerintah bekerja keras untuk mendorong dan memfasilitasi para petani agar produksi beras dalam negeri meningkat, bukan malah melakukan cara praktis, manja, lebay dan sifatnya jangka pendek seperti impor beras ini.
Memang beginilah nasib pertanian kita, masih dianaktirikan. Sisi lain berharap lebih dari sektor pertanian, disisi lain pemerintah tidak pernah serius mau memikirkan kondisi pertanian.
Beberapa hal pokok yang menjadi permasalahan pertanian kita yaitu kualitas sumber daya manusia (SDM) petani yang sangat rendah, bisa kita lihat petani kita sebagian besar hanya lulusan SD (Sekolah Dasar). Disamping itu pemerintah juga belum menunjukan ittikad baiknya untuk berpihak dan mendukung sepenuhnya untuk kemajuan sistem pertanian kita khususnya dalam sistem tataniaga. Hal ini terlihat dengan bagaimana impor beras masih menjadi pilihan utama yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, seolah-olah pemerintah enggan untuk mau berpikir sedikit saja agar dapat meningkatkan produktivitas pertanian kita dengan kualitas yang baik tentunya dengan adanya keberpihakan kepada petani (dalam hal peningkatan kualitas SDM, perbaikan infrastruktur pertanian/irigasi dan penggunaan teknologi), sehingga mampu menciptakan kesejahteraan petani kita.
Jika kondisinya seperti ini terus berlanjut pertanian kita suatu saat akan hancur, petani kita akan pindah profesi entah menjadi kuli bangunan atau yang lainnya karena biaya input pertanian (benih, pupuk, pestisida dan lainnya) yang mahal, hasil produksi tidak meningkat dan harga jual produk yang rendah. Kita selamanya akan bergantung terus pada beras impor dengan harga yang telah di tentukan oleh mereka.
Yang dibutuhkan petani sebenarnya sudah jelas yaitu peningkatan kualitas SDM petani melalui upaya pendampingan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan, peningkatan produktivitas (alih teknologi), perlindungan harga produk lokal, pembukaan pangsa pasar yang lebih menguntungkan dan yang paling penting pemerintah harus peka terhadap kondisi pertanian sekarang supaya tidak salah menentukan kebijakan.
Akhirnya, sudah saatnya kita semua bersatu untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang mandiri, tidak bergantung pada produk luar negeri yang suatu saat akan menjajah kita sendiri. Tentunya dengan memperhatikan pertanian kita secara menyeluruh. (suara petani: imam)